Kicauan burung gereja terdengar riuh dari luar jendela, sementara mentari pagi, sudah kembali dengan cahayanya yang malu-malu mengintip dari celah gorden yang belum terbuka dengan sempurna.
Perlahan Claudya membuka matanya, menyamakan cahaya yang masuk ke netranya, menyapu sekeliling sudut ruangan ini dengan penglihatannya.
Sesaat Claudya menghela napas jengah.
"Huh ... kenapa gue nggak pernah lepas dari ruangan membosankan ini, sih. Ini juga jarum kecil nggak pernah bosan apa nancap di tangan gue," gerutunya. "Bundaa ... Cla mau pulang ...."
Monolog Claudya sembari memperhatikan dan mengayunkan punggung tangannya di udara.
"Makanya, cepetan sembuh kalo bosan sama ruang ini," sahut Cindy, yang tanpa disadari Claudya sedari tadi duduk di sofa mendengarkan keluh kesahnya tentang rumah sakit.
Claudya memang sangat tidak menyukai yang namanya rumah sakit dan seisi perangkatnya. Dulu saat mereka memilih jurusan untuk melanjutkan kuliah. Cindy yang mantap dengan pilihan di Fakultas Kedokteran, sementara Claudya dengan mengambil jurusan Hubungan Internasional.
Claudya sempat beberapa hari merajuk mendiamkan Cindy, dengan alasan ia ingin kuliah di universitas yang sama atau bahkan di fakultas yang sama dengan Cindy. Sejak kecil, Cindy yang bermimpi menjadi seorang dokter, masih teguh pada pilihannya.
Jika hanya ingin dengan jurusan yang sama, kenapa tidak Claudya saja yang mengikuti Cindy. Pikir Cindy pada saat itu.
Namun ... lagi-lagi Claudya beralasan dan tidak mau mengambil bidang yang sama dengan Cindy, karena ia tidak menyukai rumah sakit. Bahkan Claudya sangat tidak menyukai warna putih.
Claudya seperti sudah tersugesti, putih mengingatkannya pada dokter.
Dan Claudya membenci hal itu."Astaga! Tuhan. Cindy! Sejak kapan lo ada di sana. Bikin kaget aja tau, nggak. Gue kira penghuni halus ruangan ini."
Claudya terperanjat, sepertinya ia tidak berbohong dengan ucapannya. Tangannya memegang dada. Ia benar-benar terkejut.
"Jangan-jangan ... benar kata Chan kemarin. Lo udah kayak hantu tau, nggak. Tiba-tiba nongol aja depan muka. Nggak tau kapan datang."
Omelan panjang Claudya bisa berpotensi memecahkan gendang pendengaran jika tidak dihentikan.
"Sebelum lo buka mata dan berakhir ngajak infus ngobrol. Gue udah di sini dari tadi. Kurang kerjaan atau gimana lo, Cla. Segala botol infus lo ajak curhat."
"Haish!" Claudya berdecak. "Eh, by the way lo nggak kerja, Bu Dokter?"
"Kerja," jawab Cindy santai. "Cuma jadwal gue hari ini siang sampai sore."
"Oh ... berarti bisa bantu gue sekarang? Gue mau pipis, nih. Kebelet nggak tahan lagi. Sekalian mau bersih-bersih."
"Bentar gue siapin dulu peralatannya, gue ambilin kursi roda, mau?" tawar Cindy pada Claudya. "Atau gue panggil suster, ya? Buat bantuin lo, atau sekalian gue aja yang mandiin lo, nih."
Meski dalam keadaan sedikit menggodanya, tapi Cindy serius mengatakan ingin membantunya membersihkan diri.
"Nggak usah, gue masih bisa sendiri kok. Thank you Bu Dokter yang cantik," ucapnya sambil memberi isyarat flying kiss.
Cindy hanya tersenyum melihat tingkah Claudya yang terkadang absurd.
Tiga puluh menit berselang, Claudya sudah selesai dengan acara bersih-bersihnya. Sudah kembali mengenakan pakaian khas pasien rumah sakit dan kembali berbaring di atas ranjangnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/200825582-288-k820391.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Cindy & Claudya (Republish)
أدب الهواةCindy, seorang dokter di salah satu rumah sakit terkenal di Jakarta. Bersama adik kembarnya-Claudya-sejak kecil bersahabat dengan Chandrika yang tak lain tetangganya. Cindy jatuh cinta pada sahabatnya sendiri. Namun, sang sahabat sudah lebih dulu me...