15. I am not fine

449 51 17
                                    

Seorang dokter menyembuhkan, dan alam yang menciptakan kesehatan.
~ Aristoteles~
.
.
.

Sejak mentari merangkak ke permukaan menebar cahayanya, Claudya merasa ada yang salah pada tubuhnya. Kepalanya didera pusing tak tertahankan. Tubuhnya lemah, Seakan ada benda tak kasat mata meremukkan semua tulang-tulang-tulangnya,
Dadanya sesak, jangankan menghirup udara dengan rakus, mencuri sedikit udara saja rasanya paru-parunya seperti kehilangan fungsi.

Claudya mencari bungkusan biru dari nakas di samping tempat tidurnya. Mencari butiran kecil yang biasa Claudya minum saat keadaannya sedang tidak baik-baik saja.

Belum juga dia temukan pil yang di maksud, sesuatu mengalir begitu saja tanpa dia sadari menetes di pergelangan tangan kirinya.
Claudya halangi jalan keluarnya menggunakan telapak tangannya, tangannya yang kosong terulur mengambil lembaran tisu guna menyeka darah yang keluar dari hidungnya.

Claudya menemukan obat yang sedari tadi menjadi target pencariannya, dengan sedikit tergesa dia masukkan butiran kecil ke pangkal tenggorokan, dan sedikit mendorongnya dengan setengah gelas air.

Setelah rasa sakit yang mendera seluruh kepala sudah mulai perlahan menghilang, sesak di dada perlahan melonggar, tangannya terulur meraih benda pipih yang sedari tadi tergeletak di samping bantal.

Claudya mencari nama bunda pada smartphone berwarna silver punyanya, hanya bunda yang dia butuhkan saat ini.

"Halo, Nak. Bunda lagi belanja sama bude Yanti, nih. Cla mau nitip apa?"

Suara lembut di seberang sana belum memberinya kesempatan berbicara. Namun, sudah langsung menghujaninya dengan penjelasan dan pertanyaan.

Ya, bunda memang tak sedang berada di rumah. Pagi-pagi sekali setelah mengantar ayah berangkat kerja sampai pintu pagar depan—rutinitas yang tak pernah bunda lewatkan barang sehari pun. Bunda pamit pada Claudya dari balik pintu kamar, hendak belanja kebutuhan sehari-hari atau kebutuhan bulanan bersama bude Yanti.

"Bun ...," panggilnya, cukup kesusahan mengeluarkan sepenggal kata itu.

"Ya, Cla kenapa?" Meski sedang kesakitan, masih bisa ditangkap sempurna oleh rungu Claudya. Suara bunda yang mendadak panik.

"Cla ... sakit bun," cicitnya yang mungkin hampir tak terdengar jika sudah di seberang sana.

"Bunda pulang sekarang. Cla, sabar tunggu bunda, ya, Sayang."

Suara bunda semakin terdengar gusar, Claudya hanya merespon dengan anggukan. Sadar, tubuhnya sudah terlampau lemas tidak bisa banyak berucap.

Claudya berusaha memejamkan matanya, berharap saat bangun dari tidur, dia sudah kembali dengan nikmat Tuhan yang paling dia butuhkan—sehat.

Pintu kamar berderit, didorong secara tergesa. Bunda bergegas menghampiri Claudya yang sejak tadi sudah menantikan kehadirannya.

"Cla, kita ke rumah sakit sekarang, ya," ajak bunda.

Ckaudy menarik tangan bunda, rasanya untuk mencapai di pergelangan tangan bunda saja Claudya merasa lemah kehabisan tenaga. Claudya menggelengkan kepala menolak ajakan bunda.

"Bunda telepon, Chan, ya?"

Lagi!

Pergerakan yang sama Claudya tunjukkan pada bunda. Claudya menggerakkan kembali kepalaku ke kanan dan ke kiri meski dengan pergerakan sedikit ... lemah.

Cindy & Claudya (Republish)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang