ORANGE

You Are My Orange

... and I love you 3000

Ah. Lagu ini lagi. Aku tersenyum tipis saat menunggu namaku dipanggil untuk mengambil minuman di sebuah kafe.

Lagi-lagi lagu ini. Lagu yang selalu mengingatkanku pada si tampan yang tidak pernah bosan berputar di kepalaku. Aku sedang makan, pasti teringat dia. Saat sedang menyetir, juga ingat dia. Saat sedang memesan minuman, wajah petugas kasirnya menjadi wajahnya. Aku benar-benar sudah gila dibuatnya. Tapi hari ini aku harus menjaga sikap. Tetap terlihat biasa saja meski hatiku dirundung rindu yang dalam karena sudah dua hari tidak bertemu dengannya.

Cuma dua hari sudah rindu? Ya. Inilah perasaan cinta versiku. Tidak bertemu dua hari saja sudah rindu bukan main. Seperti sudah dua puluh tahun tidak bertemu.

Aku sudah mengenakan pakaian terbaikku. Hari ini, aku akan bertemu dengannya. Dia pasti akan senang melihat aku memakai dress ini. Dress biru bergaris putih yang pernah ia pilihkan. Maksudnya adalah untuk pesta prom night yang diadakan kampus kami beberapa bulan ke depan. Tapi, sayangku ini ingin melihatku memakainya lebih cepat. Terlalu lama jika menunggu prom night, katanya. Jadi aku memutuskan untuk memakai pakaian ini. Dipadukan dengan bandana tipis berwarna krem dan sandal flat. Penampilanku sempurna.

Setelah menghabiskan minuman, aku melanjutkan perjalanan menuju tempat kekasihku. Angin menerpa wajahku dan aku merasa sangat bahagia. Hari ini aku akan bertemu dengannya. Di sepanjang perjalanan, terbayang wajah manis kekasihku yang memancarkan cahaya setiap kali ia tersenyum.

"Kau ingin jus?"

Itu pertanyaannya setiap kali kami pergi berkencan. Selalu bertanya apa aku ingin minum jus atau tidak. Entah apa alasannya, tapi itulah ciri khas yang membuatku tak bisa melupakannya. Mungkin karena dia sangat menyukai jus jeruk. Jadi, dia selalu bertanya apakah aku ingin jus atau tidak.

Terakhir kali kami berkencan, dia mengatakan padaku, "Tidak usah berusaha untuk menjadi cantik. Kau sudah sangat cantik bahkan tanpa lipstik mahal itu."

Komentar yang dia berikan saat aku memamerkan bibirku yang baru saja kupoles dengan lipstik merek ternama hadiah dari bibiku. Seharusnya aku marah, karena bukannya memuji, dia malah seperti meremehkan lipstik luar biasa itu kan? Tapi, tidak ada secuil pun alasanku untuk marah padanya. Aku terhipnotis olehnya hingga aku tidak merasa tersinggung sedikitpun atas perkataannya.

Aku semakin bersemangat saat langkahku semakin dekat dengan tempat kekasihku berada. Hatiku berdegup kencang. Pekarangan rumah sakit tampak lengang di akhir minggu begini. Aku melangkah melewati rute yang hampir setiap hari kulewati. Sudah dua hari aku tidak melewatinya sebagai saran dari dokter yang menangani kekasihku. Katanya, baik aku maupun kekasihku butuh istirahat. Selama dua hari.

Ya. Dua hari yang cukup untuk menenangkan diriku yang seperti mayat hidup.

Menemukan kekasihku bersimbah darah di dalam kamar mandi rumahku saat dia berkunjung beberapa bulan yang lalu membuat jantungku hampir copot. Kubawa dia ke rumah sakit, berharap cemas dengan noda darah memenuhi pakaianku.

"Kondisi Jimin sangat tidak baik. Kemoterapi harus mulai dilakukan."

Ucapan yang kucuri dengar saat dokter berbicara dengan orang tua kekasihku itu membuatku seperti disambar petir. Oh, betapa bodohnya aku. Menjadi wanita yang tidak peka terhadap kekasihnya sendiri.

Sejak saat itu, aku bersumpah untuk selalu menjaganya. Tidak pernah meninggalkannya, apapun yang terjadi. Sudah berjalan enam bulan, aku menemaninya dalam sakit dan sehat. Tapi puncaknya adalah dua hari lalu. Tiba-tiba, kondisi Jimin memburuk hingga ia mengalami koma. Tidak sadarkan diri. Aku menangis sejadi-jadinya karena panik hingga aku sendiri tidak menyadari kondisi tubuhku yang kekurangan asupan nutrisi karena terlalu keras memikirkan Jimin. Akhirnya, dokter menyarankan agar aku beristirahat sampai Jimin sadar. Awalnya aku menolak. Aku tidak mau meninggalkan Jimin. Tapi dokter menjanjikan dua hari. Dua hari sampai Jimin sadar. Mungkin.