"Aliya, tolong panggilkan Ryan ya. Sama sekalian kamu temenin dia kesini."
"Hm? Buat apa bu?"
"Ibu mau ngomong sama Ryan."
Karena itu lah sekarang aku harus kembali naik tangga menuju kelasku. Dengan malas, aku membuka pintu kelas yang ditutup rapat karena murid-murid di dalam sedang karaoke. Aku menelurusi semua sudut kelas dan menemukan cowok itu duduk di belakang bermain game bersama yang lain.
"Ryan!" panggilku malas.
Cowok itu menoleh, menatapku heran. "Apa?"
"Ikut gue. Lo di panggil Bu Suci." kataku mengedikkan dagu.
Lalu aku kembali turun menuju ruang guru dengan Ryan mengekor di belakangku.
Kalau gini sih, jelas gue gak bakal gemuk lah ya. Habis makan di kantin, disuruh naik, terus turun lagi. Mendadak aku jadi laper lagi.
Apa sekalian mampir dulu ke koperasi ya? Lumayan lah beli susu kotak.
"Gue kenapa?" tanya Ryan heran.
Aku mengangkat bahu. "Ya mana gue tau."
"Jutek amat, kak." balas Ryan bercanda. "Gue cuma nanya."
Oh. Gitu.
Di ruang guru, Bu Suci, wali kelasku, tersenyum menyapa Ryan. "Sini, sini, ibu mau ngomong sebentar sama kamu."
Aku mengangkat alis. "Bu, saya tunggu diluar aja ya?"
"Iya, tapi jangan pergi dulu ya."
Yaelah. Ini semakin membuat jiwa magerku meronta. "Iya.."
Aku keluar dari ruang guru. Berdiri di samping jendela sambil memainkan ponsel.
"Aliya."
Suara itu langsung membuat jantungku melompat. Belakangan ini aku hafal banget dengan suara orang yang satu ini.
"Hai, kak." sapaku.
Kak Vian tersenyum. "Ngapain disini?"
"Nganterin anak baru."
"Ah. Dia dipindah ke kelas lo?"
"Hm-m. Yang cowok itu lho, namanya Ryan. Kalau yang cewek sih di kelas Bahasa."
"Kenapa harus lo yang nganter?"
Um..
Gue gak mau geer sih.
Tapi kok kedengarannya kaya cemburu gitu ya?
"Gue juga gak tau. Pengennya sih di kelas aja. Mungkin karena tadi gue yang lewat, makanya gue yang disuruh." jelasku.
Kak Vian tertawa kecil. "Mageran sih."
"Mager it's my life, kak." Aku melirik kertas-kertas di tangannya. "Kakak sendiri? Ngapain? Habis dari ruang guru juga?"
"Mau ke ruang guru." ralatnya. "Gue mau mengurus beasiswa."
"Ha?"
Kak Vian mengangguk. Ia berjalan mendekat dan berdiri di sebelahku, menatap keluar jendela. "Banyak yang rekomendasiin gue untuk ikut program beasiswa keluar negeri. Mereka bilang nilai-nilai gue lumayan dan semacamnya. Jadi gue pikir, gak ada salahnya untuk mencoba."
"Kakak ikut beasiswa kemana?" tanyaku.
"Hm... Ke Inggris karena nilai TOEFL gue tinggi. Untuk universitasnya, gue rahasiakan dulu ya. Soalnya belum pasti."
Ah.
Gitu ya.
Iya. Kamu berharap apa sih, Al.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous {END}
Teen FictionSebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak lagi egois dalam menyukai seseorang. Tapi kehangatanmu membuatku jatuh lebih dalam lagi. Maafkan aku jika aku menyukaimu lebih dari yang seharusnya.