"Hah? Gimana? Gimana?" Aku berdiri, berjalan ke luar dari kafe.
"Kenapa, Al?" tanya Sora heran sebelum menggigit cupcake.
Aku mengangkat tanganku. "Bentar, ya," ucapku cepat.
"Buat tahun ini ... mungkin aku nggak bisa pulang."
"Tapi, Kakak udah janji," balasku. "Tahun kemarin, Kak Vian nggak pulang. Tahun ini juga?"
Untuk beberapa saat, tak ada balasan dari seberang. Aku mengepalkan tanganku sambil menggertakkan gigi.
"Tahun kemarin, Kak Vian sudah janji bakal pulang!" pekikku tertahan.
"Iya. Kupkir, aku juga bisa pulang. Tapi, tiba-tiba, ada tugas penting dadakan dan ... aku nggak bisa lewatkan itu."
Bahuku melemas, bersandar pada dinding luar kafe. Rasanya benar-benar berat.
"Maaf, Al."
"Oke." Aku menarik napas, lalu menghembuskannya perlahan. "Oke, nggak papa," lanjutku. "Semoga Kakak bisa ngerjain tugasnya, ya."
"... Maafin aku."
Aku menutup telepon, kembali masuk ke dalam kafe.
Dua tahun. Sudah dua tahun, Kak Vian tidak pulang. Yah, aku bukannya curiga atau apa, aku tau dia bukan orang seperti itu. Aku tau, kuliah di sana lebih sibuk dan sulit. Menjadi dokter itu bukan perkara gampang.
Tapi, setidaknya, aku ingin dia pulang meski hanya sekali.
"Al?" Laylie menatapku prihatin. "Ada masalah, ya?"
"Iya," jawabku. "Kak Vian nggak bisa pulang."
Masih dengan pipi menggembung penuh dengan makanan, Veve mengangkat kepalanya. "Eh? Udah dua tahun, lho?"
Aku mengangkat bahu, kembali duduk di samping Sora. "Yah, aku nggak bisa maksa, sih."
Sora tersenyum, menepuk punggunggku keras. "Santai, santai! Jangan pesimis dulu! Bisa aja, 'kan, itu cuma prank."
"Prank?" Laylie mengernyit. "Tindakan nggak berkelas gitu?"
"Uwa, jahat banget mulut lo." Sora terkekeh, kembali menatapku sambil menunjukku dengan garpunya. "Bisa aja, nanti pas lo lagi sedih, galau, sendirian, atau semacamnya, dia nanti datang tiba-tiba. 'Surprise' gitu. Terus kalian bakal melakukan tingkah uwu lainnya."
"Jijik," ceplos Veve. "Gue nggak kebayang Ali bakal melakukan tingkah uwu kayak begitu."
Itu benar. Itu benar sekali! Mana mungkin aku melakukannya! Lagipula, "Kak Vian nggak bakal buat surprise yang begituan."
Sora terdiam. Ia menurunkan garpunya dengan wajah serius. "Bener juga. Kalau Ryo mungkin aja, tapi ... Kak Vian mustahil."
"Ya, 'kan," balasku.
"Tapi, Sora bener." Juju tersenyum, meletakkan cherry di atas cake chocolate-ku. "Berdoa aja. Siapa tau, Kak Vian jadi pulang."
... Oke. Jangan menyerah dulu, Al!
~•~
Lalu, akhir tahun tiba.
Nggak ada kabar lagi dari Kak Vian. Sepertinya dia benar-benar tidak bisa pulang.
Ya sudahlah, ya. Kalau dia memang nggak bisa pulang, mending aku nggak maksa.
Aku meregangkan tanganku ke atas, lalu mengambil ponsel di atas meja belajar. Di dinding dekat jendela dengan langit sore, aku duduk bersandar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous {END}
Teen FictionSebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak lagi egois dalam menyukai seseorang. Tapi kehangatanmu membuatku jatuh lebih dalam lagi. Maafkan aku jika aku menyukaimu lebih dari yang seharusnya.