"Raaaan! Raaan!"
Aku berteriak memanggil Ran sambil berjalan cepat keluar dari kamar Mama.
Mataku gak salah.
Salah satu bayi yang digendongan wanita ini mirip dengan foto pertamaku di album, saat aku masih balita.
"Apa sih, Al!?" seru Ran dari arah dapur.
Aku langsung berderap kesana. Lagi-lagi dia sedang memasak. "Jawab jujur, apa gue ini punya kembaran?"
Dia pasti tau sesuatu.
Ran menoleh, menatapku heran. "Kembaran?"
"Gue nemu foto ini. Salah satunya mirip gue waktu di album." jelasku mengangkat foto itu.
"Jadi dari tadi lo nyariin itu?" tanyanya santai.
Aku mengepalkan tangan kesal. "Di sekolah ada murid baru, namanya Geisha. Dia bilang dia kembaran gue. Itu benar?"
Aku gak berharap dia berbohong. Tapi aku takut mengetahui kenyataan yang sebenarnya. Kalau memang benar, apa yang harus kulakukan.
"Iya."
Bohong. "Tolong serius!" bentakku. "Jangan jawab dengan nada santai gitu!"
Aku mendadak lupa cara mengendalikan diri. Pikiranku kacau.
Aku punya kembaran? Dan itu Geisha? Kenapa aku baru tau sekarang? Kenapa gak ada yang kasih tau aku? Terus aku dibuang? Aku anak buangan?
Aku memang bukan anak asli mereka? Jadi perlakuan mereka selama ini itu karena aku bukan anak mereka? Iya?
Ran mematikan kompornya. "Kita gak pernah berniat menyembunyikan ini dari lo, Al."
"Kalau gitu kenapa gak ada yang kasih tau sama sekali!?"
"Kami memang gak berniat menyembunyikan. Tapi kami juga gak mau membuat lo berfikir kalau lo anak buangan."
Hebat sekali. Baru saja aku berfikir begitu, Ran sudah memperjelasnya.
"Meski lo bukan anak asli nyokap, lo tetep anak mereka, adik gue, kakak Mila. Lo berharga juga buat kita, Aliya." jelasnya sambil menuntunku untuk duduk di meja makan. "Kami membiarkan lo menemukan kenyataannya sendiri."
Aku menunduk, meremas foto usang itu. Mataku memanas serta jantungku mulai berdetak tak karuan. "Kalau gue berharga, kenapa kalian gak mendukung gue sama sekali? Kenapa kalian malah menjatuhkan gue? Meninggalkan gue sendirian di rumah setiap hari? Gak jemput gue sekolah, bahkan mengantar juga enggak. Bilang 'kamu pasti capek' juga enggak. Mama bahkan gak pernah bilang 'istirahat dulu ya'. Gue gak mau makan sendirian. Duduk di meja makan sebesar ini sendirian. Pulang-pergi naik ojek. Dari kecil gue sudah mengenal sendirian. Gue gak mau."
Hening sejenak hingga suara Ran terdengar sangat menyesal. Aku gak berani mengangkat kepalaku, aku gak mau dia melihatku kecewa begini.
"Maaf. Gue juga berfikir kalau gak sebaiknya lo ditinggal sendiran setiap hari. Tapi... gue juga punya kesibukan." Ia menghembuskan nafas pelan. "Waktu gue SD, sahabat Mama sama Papa datang ke rumah, bertamu biasa. Membawa anak kembar perempuan. Gue cuma lihat sekilas, karena gue keburu main sama temen-temen yang lain. Malamnya, gue dengar percakapan orang tua. Mama bilang kalau mereka harus membantu sahabatnya itu. Papa bilang gak masalah, karena Papa juga mau gue punya adik. Gue juga pernah bilang mau punya adik sih.
"Tapi yang bikin mereka berfikir lama adalah tubuh anak kembar itu lemah. Yang satu jantung lemah, yang satu lagi paru-parunya gampang kaget. Disisi lain, mereka gak bisa mengabaikan sahabat mereka. Akhirnya Mama dan Papa memutuskan untuk mengamati anak kembar itu, gayanya, cara bicara, tingkah laku, mental, fisik, dan sebagainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous {END}
Подростковая литератураSebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak lagi egois dalam menyukai seseorang. Tapi kehangatanmu membuatku jatuh lebih dalam lagi. Maafkan aku jika aku menyukaimu lebih dari yang seharusnya.