"Waktu kelas 10, gue baik-baik aja di OSIS. Tapi lama-kelamaan, gue sadar kalau gue diremehkan sama mereka. Awalnya gue coba untuk biasa aja. Gue berusaha berani untuk datang kumpul, meskipun jarang, dan rajin rapat, ngerjain tugas yang disuruh juga. Gue berjuang buat gak diremehkan. Karena temen gue jadi wakil ketua pelaksana, gue pikir, kalau gue jadi waketupel juga, gue gak bakal diremehkan."
Aku menopang kepala, sementara tangan kananku mengaduk-aduk vanilla latte yang kupesan. "Tapi ternyata usaha gue semuanya sia-sia. Boro-boro jadi waketupel, panitia event pun, cuma sekedar sisaan, karena yang lainnya udah jadi panitia event yang lebih besar. Padahal gue cukup yakin, karena temen-temen sekbid gue yang lain gak berguna. Makanya sejak kelas 10 semester 2, gue ogah banget dateng kumpul atau cuma sekedar menyapa mereka kalau lewat."
Aku tertawa kecil. "Lucunya, gue tetep mau disuruh-suruh dan mengerjakan bagian mereka." Aku yakin kak Vian menatapku prihatin. Makanya aku gak mau melihatnya. Aku cuma mengaduk minumanku.
"Kenapa lo gak keluar aja?"
"Sayang dan gue gak punya kerjaan." jawabku. "Di rumah itu gue sendirian, kak. Keluarga gue jarang di rumah. Adek gue pun selalu dibawa ikut ke kantornya Mama. Daripada gue kesepian, mending gue cari kesibukan. Seenggaknya di OSIS gue punya Hanny sama Misael, jadi gue gak begitu kesepian."
"Tapi lo gak papa kan?"
"Yeah. Gue udah kebiasa kok."
Kak Vian tertawa. Ia memajukan piring kecil berisi cookies yang dibelinya. "Mau?" tawarnya.
Aku mengangguk dan mengambilnya satu dengan senang hati. "Kenapa sih orang itu suka kasih gue makanan?" tanyaku heran. "Laylie selalu bagi bekalnya ke gue, padahal gue juga bawa bekal. Sekarang kakak juga ikut-ikutan?"
"Karena liat lo lagi makan itu lucu." jawabnya enteng.
Dia gak tau kalau jantung gue loncat-loncat dengernya.
"Gue pikir makan lo cukup banyak. Kenapa lo gak pesan lagi? Apa karena gue traktir?" tanyanya heran.
Aku menggeleng. "Gue gak begitu suka makan. Gue sukanya ngemil makanan ringan, ciki atau kue kering gitu. Makan gue baru banyak pada saatnya aja. Gue harus jaga pola makan karena takutnya ada lomba marching tiba-tiba. Bajunya kan pas, takutnya gak cukup. Naikin berat badan itu gampang, nuruninnya yang susah."
"Gue malau merasa lo terlalu kurus."
Aku terkekeh. "Dulu gue gak sekurus ini sih, kak. Cuma karena ada satu masalah, gue jadi stress dan berat badan gue turun drastis. Sekarang gue susah naikin sampai kaya dulu."
"Kebanyakan pikiran ya?"
"Begitulah."
"Masih kecil dek, jangan suka stress."
"Iya, kakak."
Saat kak Vian akan membalas omonganku, suara mic dari panggung di depan membuat semua pengunjung menoleh.
Dua laki-laki tampan berdiri disana. Yang satu membawa gitar dan yang satu berdiri di depan keyboard. Pandangan mereka mengedar, seperti mencari seseorang,
Lalu berhenti di aku.
Mereka tersenyum. Senyum yang lama gak kulihat. Sebuah senyum yang menjadi alasan aku menyebut mereka sebagai anak-anakku.
"Heyo, guys." sapa laki-laki dengan wajah yang lebih tenang dibanding satunya. Sekali liat, aku langsung mengenalinya. Namanya Yoyo. "Ini hari terakhir kita di sini. Terima kasih buat yang udah dateng. Disini gue mau nyanyikan lagu galau dulu, mengawali gitu. Dilihat-lihat banyak yang pacaran, gue jomblo cuma bisa nyanyi doang."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous {END}
Teen FictionSebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak lagi egois dalam menyukai seseorang. Tapi kehangatanmu membuatku jatuh lebih dalam lagi. Maafkan aku jika aku menyukaimu lebih dari yang seharusnya.