23 : Geisha

23 10 3
                                    

"Weh, Al. Tumben lo kesini?"

Aku nyengir mendengar celutukan Derra, si ketua ekskul marching. "Nyari Anne. Mana dia?"

Anne itu teman dekatku di OSIS selain Hanny dan Missy. Dia juga teman sekbidku. Sebagai sesama kakak kelas sekbid 4 yang bergerak di bidang kesenian, hendaknya mengakrabkan diri. Gitu gaes.

"Ke kantin." jawab Derra.

"Oh. Yaudah deh, panggilin Geisha aja."

Yep.

Sekarang aku lagi di kelas Bahasa.

"Geisha?" Derra kembali melongok kedalam kelas. "GEISH, DICARI ALI!"

"Harus pake toa gitu ya." cetusku.

"Iya, kalau gak, nanti dia gak dengar. Kelas gue ramai pakai banget."

"Dari sini aja sudah kedengeran kok." balasku jujur. Iya suara karaoke-nya sampai keluar.

"Bahasa gitu loh!" Derra tersenyum bangga. "Sudah, gue ke kantin dulu, ngisi perut. Laper."

"Yep. Makan banyak ya."

Gak lama kemudian, Geisha muncul, dengan pandangan datarnya.

"Apa?"

"Gue udah dengar dari kakak gue soal lo. Sori ya, gue lupa." ucapku langsung tanpa basa-basi.

"Yah, gue gak peduli sama lo juga sih."

Aku mendecak. "Dingin banget."

"Kalau gak ada keperluan lain, gue mau masuk lagi."

"Sabtu datang ya." ucapku. "Ini adik lo mau lomba, masa lo gak datang sih."

"Harus gitu?" tanyanya cuek. "Sibuk gue."

"Heh. Sok cuek banget. Padahal lo udah mau keluar kelas buat menemui gue. Bilang aja lo juga kangen sama gue." balasku mulai emosi.

"Hidih."

Aku menghembuskan nafas pelan. "Lo tinggal sama nyokap ya."

Hening sejenak sebelum akhirnya dia menjawab pelan. "Iya."

"Berarti kalian baik-baik aja?"

Hening lagi, lalu ia menggeram dan menarik tanganku. "Jangan bicarain disini, ramai, banyak yang tiba-tiba nguping juga."

Hm.

Aku cukup yakin dia gak marah lagi ke aku, karena dia bahkan inisiatif cari tempat buat bicara.

Hehehehe.

.

.

.

"Nyokap baik. Dia juga gak menikah lagi. Dia kerja jadi karyawan tetap kantor administrasi. Meski gajinya gak besar itu cukup buat gue sama dia."

Sekarang kita lagi di taman nih. Sekolah gue kan ada taman di kanan sama di kiri. Sekarang gue lagi di taman sebelah kiri, karena memang lebih sepi.

"Lo sama nyokap dekat?"

"Hm... Yah, dia selalu menyempatkan diri buat ke kamar gue tiap malam. Meski cuma buat sekedar mastiin gue sudah tidur."

"Baguslah. Gak kaya gue. Hehe."

Geisha melirik sekilas, lalu kembali menunduk, memainkan jari-jarinya yang saling terkait. "Gue tau kenyataan kalau gue punya kembaran, baru waktu SMP. Beberapa hari setelah kita berteman. Tapi waktu itu gue iri sama lo. Lo punya banyak teman, ceria, dan sebainya. Keluarga lo juga kaya, yang gak perlu susah-susah cari duit."

Siapapun juga pasti mengira kaya gitu waktu sudah tau aku anak orang kaya. Padahal sebenarnya aku gak kaya-kaya banget. Maksudku aku bukan orang kaya asli, cuma kaya di generasi ini doang. Gak kaya Laylie yang memang holkay tujuh turunan.

"Jadi selama ini gue hidup dengan dendam sama lo. Kita kembar, tapi kenapa kita gak sama? Kenapa kita hidup di lingkungan yang jauh berbeda? Gue benci jadi seorang Geisha, maunya jadi lo. Makanya gue berusaha keras untuk meniru lo."

"Ah. Tapi kenyataannya lo gak tau keluarga gue yang sebenarnya gimana." balasku.

Geisha mengangguk kecil. "Nyokap baru ceritain semuanya kemarin."

Aku terkejut. Terbelalak menatapnya. "Kemarin!? Lo digantungin lho, Geis! Maksud gue ya, lo udah tau kenyataan kalau kita kembar itu sekitar 4 tahun yang lalu dan lo baru diceritain semuanya kemarin!"

Geisha terkekeh. "Iya, digantungin banget. Tapi itu membuktikan kalau kita kembar kan? Tau semuanya kemarin."

Eh, iya juga ya.

"Nyokap bilang, meski keluarga lo kaya, mereka semua sibuk. Alasan bukan gue yang mereka pilih, karena gue gak bakal bisa seperti lo, sendirian di rumah tiap harinya. Awalnya gue gak terima, itu seakan-akan gue penakut banget. Tapi lama-lama gue rasa.... fine, gue memang bakal lebih jahat dari ini kalau orang tua gue sibuk kerja."

"Hm. Gue rasa di keluarga manapun lo tinggal, lo bakal tetap dendam sama gue deh."

"Gue....juga berfikir gitu sebenarnya."

Aku mendelik. "Kan. Dasar pengiri."

"Bodo amat, Al."

"Oke, lanjut."

"...Dan nyokap bilang, 'Aliya kembaranmu, jangan musuhan, dia tetap jadi saudaramu, Geis, anak Mama' gitu. Gue jadi merasa bersalah selama ini berusaha menjatuhkan lo. Maaf."

Aku mengerjap. Ini beneran Geisha minta maaf?

Uwah. Aku kaget dong.

"Gue maafin, selow ae." balasku. "Tapi lo harus datang, ke lomba gue."

"Gue sibuk. Ada acara hari itu."

"Aiya, sibuk nonton gue."

Geisha menatapku aneh. "Terserah." katanya lalu berdiri.

"Pokoknya lo harus nonton gue!" seruku kesal.

Ia hanya melirik sekilas, lalu berjalan pergi. Um.... Aku harus mengatakannya atau aku akan terus kepikiran.

"Geisha!" panggilku membuat dia menoleh. "Emm...anu... Meski kita kembar, lo gak bakal suka sesuatu yang gue suka kan?"

"Hm?" Matanya menyipit curiga, lalu ia mendengus. "Maksudnya kak Vian?"

Aku nyengir.

"Gue gak tertarik sama dia. Buat lo aja. Meski kembar kita gak selalu suka hal yang sama." Ia diam sejenak, lalu melanjutkan. "Meski kadang juga hal yang sama."

Aku menghembuskan nafas lega. "Oke, si yu, Geis!"

Mellifluous {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang