30 : Mama (Asli)

97 12 2
                                    

Percaya atau tidak, kini aku berada di rumah Geisha.

Dalam kata lain, ini rumahku, yang pertama. Ini tempat tinggal asalku. Ini rumah orang tua asliku.

"Ngapain? Duduk lah, tegang banget liatnya."

Aku langsung mendelik pada Geisha yang baru saja kembali dari dapur. "Ya maap. Gue kan kaget gitu, bisa dateng ke rumah gue yang dulu."

Geisha mendengus. "Nyokap tadi masih belanja. Harusnya bentar lagi pulang. Lo mau ketemu kan?"

Aku mengangguk yakin. Aku memang agak merasa takut, tapi aku ingin melihat wanita yang melahirkanku.

"Tunggu aja. Dia juga pasti senang ketemu lo."

Tepat setelah Geisha selesai mengatakan itu, sebuah suara yang terdengar lelah muncul.

"Geisha~ Mama pulang!"

Jantungku seakan berhenti mendadak mendengar suara itu. Meski aku tak pernah melihat ibuku yang asli dan sudah melupakan suaranya, tetap ada sedikit perasaan rindu.

Geisha tersenyum. "Aku bisa lihat kok, Ma."

"Hai... Siapa ini? Temen--"

Aku meringis, menoleh perlahan, saat ucapan Mama terputus. Aku menatap kedua mata yang terbelalak itu. "Em ... Halo ... Aku Aliya."

"Kamu... Kamu..." Mata beriris hitam Mama berkaca-kaca. Ia meletakkan barang bawaannya di lantai lalu berjalan mendekat. Ia berlutut, kemudian memelukku. "Mama kangen sama kamu, Aliya."

Ugh...

Pelukan ini membuat mataku panas.

"Aku... juga, Mama."

.

.

.

"Oke, oke! Jadi hari ini Mama masak ini buat kalian!"

Aku tersenyum melihat banyak makanan yang terpampang di atas meja makan. "Aku kok jadi merasa ngrepotin ya."

Mama menoleh, menepuk kepalaku. "Gak, gak! Ini pertama kalinya kita bisa berkumpul setelah bertahun-tahun, jadi harus dirayakan!"

Mama itu orangnya aktif sekali ya. Dia banyak omong, cerewet juga. Tapi dari tatapan matanya, aku bisa tau dia orang yang baik.

"Kalian pasti suka ini, jadi hari ini ayo kita makan banyak!"

Aku mengangguk semangat. "Oke!"

Geisha tersenyum. "Iya, iya."

Malam itu kuhabiskan di rumah lamaku. Menikmati semuanya bersama Geisha dan Mama. Berbicara panjang lebar, selayaknya keluarga.

Rasanya sangat menyenangkan.

.

.

.

"Aku harus pulang."

"Eh? Gak nginep aja?"

Aku menggeleng. "Aku pulang aja. Lain kali aku ke sini lagi."

"Mama anter Ali aja." celutuk Geisha.

Mama terkejut, lalu menepuk tangannya. "Iya! Ide bagus! Geisha tunggu di rumah ya, Mama bakal cepet kok. Ayo Ali! Mama antar!"

"Oke!"

Beberapa menit kemudian, aku sudah duduk di sebelah Mama yang fokus menyetir sambil bersenandung.

"Mama senang kamu datang," ucap Mama memecah keheningan.

Aku tersenyum. "Iya, aku juga."

"Geisha bilang kamu punya pacar. Beneran?"

Ah. Geisha .... Anak itu menyebalkan! "Iya. Aku punya."

"Siapa? Siapa?" tanya Mama antusias. Matanya berbinar-binar.

"Namanya kak Vian, kakak kelasku."

"Hmm .... Dari namanya Mama tau dia orang yang baik," balas Mama. "Habisnya, orang yang dipilih anak Mama pasti orang yang baik!"

"Iya. Kak Vian memang baik sekali."

Mama tersenyum.

Rasanya ada kehangatan yang mengambang di dalam mobil. Perasaan menenangkan yang baru pertama kali kudapatkan. Bisa mengobrol dengan Mama... aku senang sekali!

"Mama juga dengar kamu dan Geisha bertengkar."

"Itu dulu, sih. Sekarang aku sama dia udah gak marahan lagi."

Mama menghembuskan nafas pelan. "Geisha itu keras kepala, gengsinya tinggi, dan kepercayaan dirinya juga tinggi."

"Yah, aku dulu benci banget sama dia."

"Meski benci, fakta kalian kembar gak bisa diubah. Juga... kalian juga bisa saling memahami satu sama lain kan?"

"Iya. Ikatan anak kembar, gitu..."

Mama tertawa kecil. "Aliya juga sama berharganya buat Mama."

Aku menoleh, terkejut mendengar kalimat tiba-tiba sedih begini.

"Meski diatas kertas Aliya sudah bukan anak Mama, Aliya tetap akan jadi anak Mama. Mama sayang Aliya, sama seperti Mama sayang Geisha."

Mataku panas.

"Kalau ada yang dipusingkan dan gak bisa kamu bicarakan dengan keluargamu, kamu bisa bicara sama Mama. Mama akan mencoba mengerti masalahmu. Karena rasanya sakit kalau menahan semuanya sendiri."

Air mataku menetes.

Aku menunduk, menghapusnya cepat. "Iya..."

~•~

"Halo, Kak?"

"Hai. Gimana hari ini? Ketemu sama Mamamu... semuanya baik-baik aja, 'kan?"

Aku mengangguk semangat. "Iya! Mama itu baik! Dia cerewet, ceria, juga agak kekanak-kanakan. Tapi dia... seakan punya indra keenam, karena bisa tau apa yang kupikirkan selama ini."

"Yah, cerewet dan kekanakan, sama kaya kamu, 'kan?"

"Aku gak kekanakan, ya!" seruku kesal.

"Nah, nah, ini yang kumaksud kekanakan."

Aku mengerjap, lalu tertawa kecil. "Iyain aja lah."

Dari telefon, aku bisa mendengar kekehan kak Vian. "Hari ini suaramu keliatan lebih bahagia."

"Segitu keliatannya ya."

"Iya. Tapi baguslah, kamu senang."

"Mm-m. Aku senang sekali!"

Mellifluous {END}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang