"HAH!?"
"SUMPAH!?"
Aku mengangguk, menunduk sambil mengaduk-aduk teh dengan sedotan. "Iya. Kemarin gue ketemu kak Vian, dia bilang habis urus beasiswa buat lanjut di luar negeri."
Sora melotot. "Kenapa lo baru bilang sekarang bambang!?"
Aku terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Karena..... semalam gue galau..?"
"Hiks. Hiks. Sedih dong." rengek Veve menatapku prihatin. "Gue gak mau. Kenapa lo gak bujuk kak Vian buat disini?"
"Kenapa gue harus?" kataku balas bertanya. "Gue cuma sekedar adek kelas. Hak gue apa buat maksa tinggal? Kalaupun dia ada disini, gak menjamin kalau gue bakal sama dia kan? Bukannya bagus dia dapat beasiswa keluar negeri?"
"Tapi Al... Lo sama kak Vian masih gak jelas gini."
"Hm... Gue baru deket sama dia sekitar dua minggu yang lalu. Bukannya wajar? Gue berharap apa dari itu?"
Laylie mengangguk. "Ali bener. Dia gak punya hak apa-apa buat maksa Vian."
"Dan memang lebih bagus kalau kak Vian mengejar impiannya." sambung Juju.
Sora tersenyum tipis, memelukku erat. "Kalau jodoh, bakal ketemu kok. Lo gak usah khawatir."
Aku juga gak berharap begitu.
"Masih ada satu semester, kenapa lo gak coba makin mendekatkan diri aja?" tanya Veve sedih. "Kan seenggaknya kalian bikin kenangan."
"Nanti makin berat ngelepasnya." celutuk Laylie.
"Tapi daripada diem-dieman gini." balas Veve.
Juju tersenyum. "Coba untuk berteman lagi dengannya, Al. Lo juga gak mau ditinggal tanpa apapun kan?"
"Hm. Gue gak tau harus gimana."
"Kenapa gak coba dengan chat?" tanya Sora. "Gue kalau pedekate biasanya lewat chat dulu."
"Tapi cewek nanya nomer duluan itu gak elit." cetus Veve. "Coba cara lain."
"Ah! Gue tau! Coba dengan--"
Mendadak aku tak bisa mendengar perkataan Sora. Bahkan keramaian kantin pun gak bisa kudengar lagi.
Rasanya seperti runtuh.
Perempuan itu berjalan masuk ke area kantin. Matanya bertatapan denganku, lalu ia tersenyum miring. Tangannya meraih lengan baju laki-laki yang berjalan disebelahnya.
"Kak, ayo coba bicara disana."
Ia mengeraskan perkataannya itu, seolah sengaja agar aku mendengarnya juga.
"Biar gue yang gantiin tempat lo."
Jantungku berdebar keras.
"Udah gue aja."
"Lo pasti capek, biar gue yang bantuin dia."
"Duduk aja. Bentar lagi gue belikan minuman."
Sesak.
"Kenapa sekarang lo kaya gini sih, Al? Sejak kapan?"
Jantungku makin berdetak tak karuan.
Aku menatap perempuan yang tersenyum lebar pada laki-laki didepannya. Perempuan itu berdiri dan dengan cerianya berbicara.
Kenapa? Kenapa? Kenapa? Kenapa?
Kenapa terjadi lagi--
"Al!"
Rasanya aku tertarik dari lamunanku. Aku menoleh cepat pada teman-temanku yang menatapku khawatir. "I--Iya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mellifluous {END}
Teen FictionSebenarnya aku sudah memutuskan untuk tidak lagi egois dalam menyukai seseorang. Tapi kehangatanmu membuatku jatuh lebih dalam lagi. Maafkan aku jika aku menyukaimu lebih dari yang seharusnya.