Ha

55.4K 2.5K 107
                                    

Manusia diciptakan berbeda-beda sekalipun mereka diciptakan dalam satu wadah yang sama. Berbeda menit saja sudah beda sukma dan pribadinya.

Seperti halnya dua remaja yang sedang duduk di sebuah cafe kawasan Mertoyudan. Dengan nuansa ala-ala remaja yang membuat nyaman untuk dijadikan tempat nongkrong bahkan untuk mengerjakan tugas.

"Bang, kapan pulang sih? masa aku yang harus nemuin abang ke Magelang mulu. Capek tau bolak-balik, mana ayah nggak bolehin aku naik motor sendiri dan harus di anterin Om Ari segala. Bete pokoknya!" gadis muda itu mencebik dan melipat tangannya di dada. Sedangkan sang abang di depannya itu hanya diam mendengarkan ocehan sang adik yang mirip kereta itu.

"Nanti kalau dapat jatah liburan semester."

Plak!

Buku menu cafe mendarat mulus di kepala sang abang. Lantas sang abang mendelik, "Nggak sopan Hira! Abang bilangin ke mama ya!"

Hira acuh dan bahkan menjulurkan lidahnya, "bilang aja. Dasar tukang ngadu!"

Kemudian Raksa memilih memainkan gawainya. Menanggapi adiknya pun tak akan ada akhirnya jika dia yang bukan mengalah.

Akhirnya setelah seminggu tak bisa main gawai, hari ini ketika pesiar ia bisa memainkan gawainya dengan leluasa.

"Abang ada pacar ya? Dari tadi main hape mulu, heran." Kembali Hira bertanya, seperti biasa, gadis itu memang suka sekali berbicara persis sang eyang putri dari pihak mama. Mulutnya gatal ketika Hira tak berbicara di depan abangnya itu.

"Pacar pacar... nggak ada lah. Abang lagi nunggu temen yang mau kesini. Masih kecil nggak usah pacar-pacaran!"

Lalu Hira mencebik, "yah abang nggak seru! Hira udah gede bang, udah 17 tahun, bentar lagi mau kuliah, masa pacaran nggak boleh."

"Pacarmu harus abang tes dulu. Uji mental sama ketahanan, kalau memble dan fakboy modelnya, mending abang lempar ke kolam yang nggak di kuras 10 tahun biar kena gatal-gatal akut!"

Hira mendelik, merasa jika abangnya ini posesif dan sedikit psikopat. "Ya Allah bang jahatnya dirimu. Emang ya jiwa Ayah menempel padamu semua sampai sifatnya juga, tapi sayang wajah mirip mama. Nggak sinkron."

Memang Raksa cenderung memiliki wajah seperti sang mama dan Hira seperti sang ayah, namun percayalah jika sifat Raksa duplikat seperti Damar, sedangkan Hira masih labil dan cenderung seperti sang eyang putri. Hira lebih banyak ngomong dan pandai mendebat.

"Anak kecil diem!"

"Beda 5 menit doang belagu banget sih Bang!" lagi, Hira tak mau kalah dengan sang abang. Gadis itu bahkan terang-terangan mendebat abangnya.

Lalu Raksa memilih diam daripada menanggapi adiknya yang cerewet itu. Dibalik sifat yang terlihat acuh itu, di dalamnya menyimpan rasa sayang yang luar biasa terhadap sang adik. Bahkan mereka saling membutuhkan satu sama lain ketika berjauhan.

Seperti saat ini dimana Raksa meminta sang adik untuk menemuinya di Magelang. Sebenarnya Hira ada acara di sekolahnya tetapi sang kakak dengan ngototnya ingin bertemu dengan sang adik. Hingga Hiralah yang mengalah dengan menemui sang kakak dari Semarang ke Magelang.

Sekarang keluarga Damar pindah dari Jakarta ke Semarang. Damar menjadi pejabat tinggi Komando Daerah Militer IV/Diponegoro yang berkantor di sekitaran Banyumanik Semarang. Hira pun ikut pindah dan sekarang bersekolah di salah satu SMA terbaik di Semarang yang letaknya berada di depan kantor Balaikota Semarang. Sedangkan Kencana bertugas di Polda Jawa Tengah dan menduduki posisi strategis Dirlantas Polda Jawa Tengah. Pasangan suami istri ini pun sibuk dengan masing-masing tugasnya sehingga terkadang membuat Hira kesepian. Apalagi sang abang memilih bersekolah di salah satu sekolah favorit semi Militer di Magelang.

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang