Wani Ngalah Luhur Wekasane

17.8K 1.4K 78
                                    

Selesai acara dari rumah bunda, Hira lebih sering diam, begitupun Eling yang mendadak diam juga. Mereka sama-sama diam hingga sore hari ketika pulang ke rumah dinas, selama dua hari mereka menginap semalam di sana dan pulang ketika habis ashar.

Hira pun tak peduli dengan Eling yang tiba-tiba diam juga. Ia masih terngiang ucapan Mbak Billa yang menyayat hatinya. Bagaimana juga ia punya perasaan.

Sampai di rumah dinas sekitaran pukul 5 sore karena terjebak macet di kawasan wisata Batu tadi. Hira langsung masuk ke dalam rumah dan melepas penatnya.

Sampai adzan maghrib, Eling tak kelihatan batang hidungnya. Mungkin saja laki-laki itu pergi ke masjid setelah pulang tadi. Lantas Hira memilih shalat dulu dan menghangatkan makanan yang sempat ia bawa tadi dari rumah bunda.

"Mas makan dulu." Ucap Hira pada Eling yang sibuk bermain game online. Lantas laki-laki itu berhenti bermain game dan meletakkan gawainya, tanpa sepatah katapun.

Hira lantas mengernyitkan dahinya, semenjak dari rumah bunda, Eling berubah menjadi pendiam, laki-laki itu pun tak berbicara padanya. Dalam benaknya Hira punya firasat jika ada sesuatu yang telah terjadi.

Sampai selesai makan, Eling masih saja terdiam. Laki-laki itu pun memilih menonton acara disalah satu stasiun televisi yang mengangkat seputar dunia militer. Hira lalu berinisiatif membuatkan teh hangat dan bertanya kepada sang suami.

"Mas, diminum." Eling menatap Hira sekilas lalu menatap kembali televisi. Hal itu amat menyakitkan bagi Hira sekaligus menjengkelkan. Bagaimana bisa ia di hiraukan seperti itu tak berkata terima kasih atau iya pun tidak.

"Mas," panggil Hira lagi. Namun Eling tetap bergeming. Hal itu membuat Hira yakin jika telah terjadi sesuatu.

"Mas, ada apa tho? kok diam dari tadi, Hira ada salah ya?" Hira mencoba mengajak Eling berbicara. Ia mencoba menjadi istri yang peka walaupun mungkin menikah tanpa cinta.

Eling lantas mematikan televisi dan menghela nafasnya. "Nggak ada apa-apa."

Hira seketika mendengus, "nggak ada apa-apa tapi mas menghindari saya?"

Eling kemudian mengusap wajahnya dan menatap Hira yang duduk disampingnya, "seharusnya kamu tahu apa yang terjadi."

"Apa Mas? Hira nggak tau apa-apa. Tiba-tiba mas diemin Hira." Sahut perempuan itu cepat.

Justru Eling tersenyum miring, "kamu nggak tahu ya? Mas kira kamu tulus loh tapi malah bicara nggak-nggak sama Mbak Billa."

"Mbak Billa?" ulang Hira. Otak cerdasnya lantas berpikir cepat.

"Memangnya Mbak Billa bilang apa mas? aku nggak tau apa-apa." Jujurnya. Namun justru Eling berdecak.

"Seharusnya kamu tahu sendiri lah." Sahut Eling lagi. Hira lantas membuang muka.

"Saya nggak tahu Mas. Saya nggak ngerti apa yang mas bicarakan. Apa kurang jelas?" ulang Hira lagi. Ia sangat kesal dengan Eling yang berputar-putar seakan dirinya itu salah.

"Kamu nggak seharusnya bicara buruk pada mbak Billa! saya kira kamu punya adab lebih tapi malah sama saja. Kamu mencela Mbak Billa yang cuma jadi ibu rumah tangga dan membandingkan dirimu yang sudah S3. Sudah merasa hebat kamu?"

Hira tersenyum miris. Jadi ternyata Mbak Billa sudah berbicara aneh-aneh dengan Mas Eling bahkan memfitnahnya. Apa lagi Tuhan?

"Penghinaan? seumur hidup saya tidak pernah merendahkan orang lain mas. Saya selalu berusaha menghargai mereka dan melihat dari sisi mereka yang berbeda dengan saya. Saya tidak pernah sekalipun merasa hebat daripada siapapun termasuk mbak Billa yang notabene adalah kakak ipar saya sendiri. Saya tidak menghina apapun yang mas sebutan tadi." Perlahan air mata Hira menetes. Sakit hatinya akibat pernyataan mbak Billa masih terngiang kini justru Eling mengatakan kebohongan besar itu. Eling menuduhnya dengan kejam tanpa bertanya pada kacamatanya.

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang