Hira tak bisa tidur kembali setelah terbangun pukul 2 dini hari. Kebiasaannya yang sering begadang dulu terbawa hingga sekarang. Terkadang ia baru bisa tidur pukul 1 atau 2 dini hari dan bangun pukul 5 pagi. Tadi malam, Hira tidur sekitaran pukul 9 malam karena lelah akibat perjalanan dan sebagainya. Namun tiba-tiba saja ia justru terbangun pukul 2 dini hari.
Hira menatap tempat tidur di sampingnya. Bu Endah masih pulas tidurnya, begitupun staf perempuan yang lainnya. Kemudian Hira memutuskan untuk membuka laptop, menyicil projectnya dan mencari jurnal yang relevan dengan topik pembahasan dari projectnya itu.
Tak terasa sudah pukul 4 pagi, sebentar lagi subuh tetapi Hira justru sudah suntuk menatap deretan bahasa asing di depannya. Lalu Hira memutuskan untuk keluar barak.
Tiba-tiba ia mencium aroma masakan di samping barak. Perlahan kakinya melangkah ke sana. Ia melihat banyak anggota TNI yang memasak dan dibantu dengan relawan yang mendapat giliran serta beberapa warga yang mengungsi.
Lantas Hira mendekat ke arah ibu-ibu yang sedang mengiris kol. "Ibu sedang masak apa?"
"Oh ini ibu mau buat gorengan. Eh, ibu kok belum pernah lihat kamu ya? kamu relawan baru?"
Hira menggeleng, "bukan, saya staf ahli dari BNPB bu. Kemarin baru sampai di sini." Hira tersenyum di akhir kalimatnya. Ibu tersebut lantas tersenyum juga, "oh baru ternyata. Mau minta apa bu ke dapur ini? mungkin saya bisa membantu." Ucap Ibu tersebut.
Hira lantas tersenyum, "jangan panggil saya bu, saya masih muda kok bu. Panggil saja Hira." Hira mengulurkan tangannya dan disambut baik ibu tersebut. "Oh pantesan, soalnya saya takut bilang kak atau apa karena bisa saja kamu sudah menikah."
'Iya seharusnya begitu. Tapi,' batin Hira tiba-tiba. Lalu gadis itu memilih tersenyum, tak ingin larut lagi dalam kesedihan. Biarlah itu menjadi bagian dari perjalanan hidupnya.
"Nama ibu, ibu Siti. Saya panggil Mbak Hira saja ya? Mbaknya dari Jawa kan?" Hira terkekeh sebab tebakan ibu itu benar sekali.
"Iya bu, boleh saya bantu? daripada di dalam barak saya tidak ngapa-ngapain."
"Eh jangan mbak Hira. Biar ibu saja. Mbaknya duduk saja. Mbaknya kan dari staf ahli di sini." Ucap Ibu Siti.
"Nggak papa bu. Nggak ada larangannya juga kan kalau dari elemen apapun itu memasak. Jadi, boleh ya saya bantu?" lalu ibu Siti dengan agak berat hati memberikan pisau kepada Hira. Jarang sekali staf yang bekerja untuk kebencanaan turun membantu ke dapur. Baru Hira ini.
Kemudian Hira ikut mempersiapkan bahan untuk di buat gorengan. Tak sadar azan subuh terdengar. Mereka lantas buru-buru mengerjakan dengan cepat supaya sarapan untuk pengungsi, anggota TNI, relawan dan lainnnya bisa sarapan tepat waktu.
"Loh, kenapa anda disini? bukannya anda staf ahli? apa jangan-jangan anda sebenarnya relawan tetapi menyamar sebagai staf ahli?" Tiba-tiba saja orang yang menghadang Hira kemarin datang ke dapur umum. Laki-laki itu masih mengenakan kaos oblong loreng dengan celana lorengnya juga. Hira lantas mengerutkan dahinya.
"Permisi ya Pak, kenapa dari kemarin bapak nyinyir mulu ke saya? salah saya apa ya? bukannya saya sudah jelas kalau saya staf ahli di sini bukan relawan. Apa kurang jelas pak?" balas Hira tak mau kalah. Beberapa orang di dapur yang mendengar pembicaraan Hira dan laki-laki itu menatap mereka penuh tanya.
"Saya bukan menuduh loh. Saya cuma memastikan kalau anda benar-benar staf ahli jadi tidak ada penyusup disini." Ucapan laki-laki bernama Eling itu membuat Hira meradang. Mungkin kalau ia punya jurus smackdown, Hira bisa langsung mengeksekusinya.
"Tapi kata-kata Bapak seakan menuduh saya loh. Apa yang salah dari saya?" Hira tak gentar walau yang dihadapinya adalah seorang anggota TNI berpangkat Letnan Satu itu. Kemarin Hira sempat melihat ada dua balok di kerah kanannya karena Eling memakai baju PDLnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hira
Ficción GeneralApasih yang buat kamu bahagia? Uang, wajah cantik atau mungkin kebebasan. Bagi gadis bernama Hira Nirbita Airlangga Hirawan kebebasan adalah hal yang ia tunggu sejak dulu. Uang tak memberinya kebahagiaan yang hakiki. Hanya sebatas formalitas yang me...