Da

18.6K 1.5K 16
                                    

"Yah?" Hira memberanikan diri untuk berbicara dengan sang ayah yang sedang menikmati secangkir kopi dengan koran di tangannya. Tak biasa sekali ayahnya itu memegang koran di pagi hari apalagi weekend. Kebanyakan sang ayah menghabiskan weekend untuk olahraga bersama dengan rekannya jika tak ada dinas.

Lalu Damar menatap sang putri. Setelah seminggu kejadian di rumah eyangnya, Hira masih kepikiran hingga sekarang. Gadis itu masih saja memikirkan perihal yang sudah cukup membuatnya putus asa. Menentukan pilihan buat masa depan itu sulit dan penuh pertimbangan, namun bagi Hira ia sudah yakin dengan keputusannya walau ia sangat yakin bahwa keputusannya itu di tentang sang ayah.

"Mengenai keputusan ayah saat itu yang bilang kalau Hira mau di FK, apakah itu benar? apa ayah nggak mau dengerin dari sudut pandang Hira?" tanya Hira takut-takut. Ia bertanya seperti ini pun sebenarnya membutuhkan keyakinan kuat sebelum akhirnya berani berbicara.

Damar belum menjawab, lalu gadis itu di persilahkan duduk dulu oleh sang ayah, "kan dari dulu ayah udah pernah bilang kalau kamu akan ayah masukkan ke FK."

"Tapi apa ayah pernah mendengar keinginan Hira? Please, kali ini ayah mendengarkan keinginan Hira bisa?"

Tatapan memohon terpancar dari mata putrinya. Damar yang sudah bulat keputusannya lantas tak ingin berdebat panjang, ia yakin jika anaknya di FK itu lebih baik ketimbang di lainnya. Namun, ia juga ingin mendengar alasan sang putri juga.

"Yah, bolehkan kali ini Hira memilih untuk masa depan Hira? bolehkan Hira mengambil langkah yang Hira inginkan sendiri? memilih zona nyaman Hira? selama ini ayah berperan andil dalam setiap langkah Hira dan bolehkan kali ini Hira memutuskan langkah Hira sendiri?"

Kemudian Hira menarik nafasnya pelan, "selama ini ayah tahu jika Hira tak sedikitpun tertarik dalam dunia medis, Hira lebih tertarik mengikuti camp di luar but often failed. Hira terima karena ilmu bisa di ambil di mana saja. Hira lebih suka membedah alam dan seisinya ketimbang membedah manusia, ayah."

"Artinya kamu nggak setuju sama pilihan ayah?"

"Yes, iam want to be a geographer, dengan geografi Hira merasa jiwa Hira lebih tereksplorasi dengan baik. Hira akan berusaha mendapatkan universitas terbaik, ayah."

Damar menatap serius sang putri, "sekarang ayah tanya, setelah itu kamu jadi apa? jurnalis alam, hmm?"

Hira menggeleng keras, "Geografi tak sesempit itu ayah. I can to be geologist, cartographer, bahkan bisa bekerja di NASA kalau rezeki. Sama prestisiusnya dengan kedokteran."

"Tapi ayah tetap dengan keputusan ayah. Kamu masuk kedokteran dan ayah sudah mempersiapkan untuk itu dan minggu depan kamu harus mengikuti les privat untuk masuk FK terbaik di Indonesia. Ayah tidak terima alasanmu itu. Sudah."

"Ayah, kali ini biarkan Hira menentukan masa depan Hira yah."

"Masa depan apa sih nak? Kedokteran lebih menjanjikan dari pada yang lain dan ayah ingin lihat anak ayah memakai jas putih."

Lalu Damar memilih beranjak dari duduknya, hal itu membuat Hira semakin sakit hati dengan keputusan ayahnya yang sepihak.

"Selama ini ayah hanya memikirkan keinginan ayah saja. Tidak pernah memikirkan kebahagiaan Hira itu bagaimana. Hidup bagai belenggu itu tidak enak ayah."

Damar yang hendak melangkah mengurungkan niatnya dan menatap sang putri, "sejak kapan kamu membantah perintah ayah? sejak kapan kamu berani tidak sopan sama ayah Hira? jawab pertanyaan ayah."

Lalu Hira sudah berkaca-kaca dibuat seperti itu. Baru kali ini ia dan sang ayah bersitegang, "ppa itu di sebut tidak sopan ayah? Hira tak pernah sedikitpun berniat melawan tapi tolong kali ini ayah mengerti keinginan Hira."

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang