"Ma, aku nggak kelihatan gendut kan?" tanya Hira begitu gadis itu mengenakan kutu baru yang baru saja jadi dari penjahitnya.
Sedangkan Kencana hanya mampu menggelengkan kepalanya, "yang gendut tuh apanya sih nduk? badan mirip biting gitu bilangnya gendut." Sedangkan Hira hanya mampu meringis dan menatap kembali badannya di full mirror. Hira menatap badannya yang menurutnya agak berisi, mungkin naik 1 atau 2 kg, tetapi hal itu tak berpengaruh banyak terhadap badannya yang kurus. Bukannya ia tak makan, tapi sebanyak apapun ia makan tetap saja badannya kecil, paling naik 1 sampai 2 kg.
"Mah, nanti nikahnya mau adat apa? kita kan Jawa, Barata ada Sunda sama Bugisnya, aku bingung ma." Ucap Hira pada Kencana yang tengah sibuk membuat bingkisan untuk hantaran lamaran yang akan dilaksanakan besok.
"Lah terserah kmu sama Barata tho, kan kalian yang menikah, diomongin baik-baik, milih mana, mama sama ayah ngikut aja." Jawab Kencana bijak.
Kemudian Hira membuka gawainya dan mencari inspirasi disana. Tak sengaja ia melihat tatanan pengantin Jawa yang begitu indah.
"Pake adat Yogjakarta kayaknya bagus Ma. Gimana?"
"Terserah kamu aja, mama ngikut. Mau pake adat Batak, Minang, Sunda, apapun itu mama ngikut aja." Jawab Kencana lagi.
"Kamu udah tanya Bang Raksa belum kalau batiknya pas apa nggak? kalau kegedean, suruh kembaliin ke Mbak Ratih supaya langsung di kecilin soalnya mama ngambilnya ukuran persis sama ayah."
"Siap Ma, Hira mau cari Bang Raksa dulu." Kemudian gadis itu keluar untuk mencari kembarannya. Biasanya Raksa suka ke lapangan asrama karena banyak juga prajurit disana sehingga Raksa punya teman untuk berbicara.
Hira hendak mencari ke lapangan, ternyata Raksa sedang mencuci mobil. Tumben sekali, batin Hira. "Bang," Raksa yang sedang menyemprot air ke mobil lantas mendongak menatap Hira.
"Udah nyobain batiknya belum? kalau kegedean kata mama suruh ngecilin sama Mbak Ratih."
"Iya udah Ra, kegedean di bagian badan, kalau lengan pas. Suruh kecilin 2 sampai 3 cm ya." Ucap Raksa.
"Abang sendiri sana yang bilang. Aku nggak ngerti." Hira tahu jika abangnya itu pasti menyuruh dirinya yang maju, padahal Hira lagi mode mager keluar.
"Mbak Ratih udah tau ukuran abang, sana gih, abang lagi nyuci, kamu ya yang ke Mbak Ratih." Suruh Raksa tanpa melihat Hira yang sudah mencebik kesal.
"Nggak mau bang. Hira mager keluar pake motor." Tolak Hira terang-terangan.
Lalu Raksa menatap Hira, "kalau nggak mau ya udah, satu set kristal permintaanmu nggak jadi." Ancam Raksa tanpa dosa. Kalau begini caranya, Hira tak rela. Mana mungkin ia melewatkan kesempatan di beri hadiah kembarannya itu dengan satu set kristal yang susah di cari. Raksa berani memberikan satu set kristal juga karena punya kenalan orang Geologi. Kalau tak begitu, mana Raksa mau sebab harganya yang mahal dan susah di cari juga.
Hira lantas mencebik kesal, "dasar abang kampret," setelah itu Hira masuk ke dalam rumah dan Raksa tanpa dosanya menertawakan Hira. Memang mudah mengancam Hira, itulah enaknya jadi abang, bisa nyuruh-nyuruh sang adik.
*****
Acara lamaran Hira dan Barata dilaksanakan sehabis dhuhur di kediaman orang tuanya Hira. Beberapa sanak saudara yang dekat ikut serta memeriahkan acara. Hira yang sedari tadi deg-degan menunggu rombongan keluarga Barata pun hanya bisa menghembuskan nafasnya pelan berkali-kali untuk menetralisir rasa gugupnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hira
General FictionApasih yang buat kamu bahagia? Uang, wajah cantik atau mungkin kebebasan. Bagi gadis bernama Hira Nirbita Airlangga Hirawan kebebasan adalah hal yang ia tunggu sejak dulu. Uang tak memberinya kebahagiaan yang hakiki. Hanya sebatas formalitas yang me...