Hira mengusap peluh karena udara siang hari ini begitu terik. Perempuan itu bolak-balik membersihkan rumah dan menjemur pakaian di belakang rumah. Hari libur memang di manfaatkan dengan baik oleh Hira untuk membersihkan rumah, menguras bak di kamar mandi hingga menyikatnya bersih lalu mencuci pakaian dan terakhir masak. Memang menjadi ibu rumah tangga bukan pekerjaan mudah, tetapi Hira sangat menikmati perannya ini.
"Dek, udah selesai belum?" tanya Eling ketika melihat sang istri masih berkutat di dapur.
"Tinggal nunggu matang doang sih Mas."
"Oh ya udah, Mas ke lapangan bentar ya?" Hira mengangguk lalu Eling keluar dari rumah. Laki-laki itu berjalan menuju lapangan yang tak jauh dari asramanya.
Eling nampak celingukan mencari sesuatu. Lantas salah satu anggota datang menghampirinya, "Izin ndan, dik-" belum sempat anggota itu berbicara, Eling sudah lebih dulu berjalan cepat ke arah belakang Batalyon. Di sana sudah ada dua anggota yang nampak mendongak ke atas.
"Shima, turun nak." Ucap Eling tegas. Laki-laki itu mendongak dan melihat sang putri sudah nangkring manis dengan Gatra, sahabat putrinya yang sebelas dua belas sama.
Bocah cilik berusia 6 tahun itu nampak sangat aktif hingga pohon jambu yang berada di belakang Batalyon sering menjadi markas mereka berdua. Lantas mereka langsung turun dan dua anggota yang memergoki bocah cilik itu pamit dari hadapan Eling.
"Kemarin Shima sudah janji sama ayah apa, hmm? kok di ulangi lagi?"
Bocah perempuan itu menunduk, memilin kaos berwarna abu-abunya. Sedangkan bocah laki-laki yang merupakan patner in crime Shima turut menunduk. Gatra juga berjanji dengan ayah ibunya jika tak akan memanjat pohon lagi. Tetapi bocah cilik itu tetap saja memanjat pohon.
"Maaf ayah," cicit bocah itu. Lantas Eling beralih ke Gatra yang sama-sama menunduk.
"Gatra juga sudah janji sama ayah Edi kan? nggak manjat pohon lagi? kenapa di ulangi?" tanya Eling dengan nada yang bersahabat namun terdengar tegas. Mana mungkin ia membentak bocah cilik itu. Bagaimana pun juga ia kembali memaklumi tingkah mereka yang kadang bikin geleng-geleng kepala. Bikin semua orang kerepotan.
Shima atau nama lengkapnya Nayaka Shima Putri Trishaka, bocah perempuan yang lebih mirip laki-laki itu karena tingkahnya yang sangat berani dan aktif. Lebih suka bergaul dengan laki-laki dan bermain sepak bola dengan anak kolong lainnya ketimbang bermain boneka dengan bocah perempuan seusianya. Shima lebih suka memanjat pohon, entah darimana bocah 6 tahun itu berani dan lihai dalam memanjat.
Hira dan Eling bukan tanpa alasan memberi nama putri mereka dengan nama tersebut. Nayaka berarti pemimpin, Shima yang berarti tegas. Mereka berdua berharap jika Shima menjadi perempuan tegas dan bisa memimpin untuk adik-adiknya kelak. Namun nampaknya arti nama tersebut meluas sehingga Shima bukan hanya menjadi pemimpin untuk itu tapi pemimpin bagi circle pertemanan di asrama. Walaupun perempuan, Shima itu punya jiwa pemimpin dan bar-bar sejak kecil sehingga membuat Eling maupun Hira di buat pusing dengan putrinya itu.
"Maaf Om komandan." Cicit bocah laki-laki itu. Gatra juga sama seperti putrinya, kadang sulit di beri tahu.
Eling menggeleng, melihat tingkah sang putri yang seperti anak laki-laki itu membuatnya kadang berpikir, dulu dia pernah batin apa sehingga anaknya itu tidak ada feminim-feminimnya.
"Kalian dihukum. Sikap tobat sekarang." Tegas Eling dan mereka dengan cepat melaksanakan perintah Eling. Lantas mereka berdua mengambil sikap tobat dan membuat Eling menahan tawa karena sikap mereka yang menurutnya lucu.
"Sudah-sudah. Ayo pulang. Gatra, kamu balik ke asrama. Jangan manjat pohon lagi atau om hukum kamu sikap tobat." Lantas dengan polosnya, bocah laki-laki itu hormat kepada Eling. "Siap Om komandan."
"Gatra pulang dulu ya Shima." Pamit bocah itu pada Shima. Bocah kecil itu pun mengangguk lalu mendekat dan berbisik-bisik ke Gatra dan cekikikan.
Gatra kemudian melambaikan tangannya ke arah Shima dan dibalas gadis kecil itu.
"Maafin Shima lagi ya ayah. Shima tadi pengen ambil jambu aja kok. Besok nggak manjat lagi deh." Ucap Shima dengan nada polosnya, hal itu membuat Eling terkekeh dan menggendong putri semata wayangnya itu.
"Besok kalau ketahuan manjat lagi, ayah nggak mau ajak kamu ke rumah nenek." Lantas Shima menggeleng cepat. Ia tak suka ayahnya mengancam seperti itu. Baginya pergi ke rumah nenek adalah hal yang paling ia tunggu. Memetik buah apel dan mengganggu kakek ketika berkebun adalah favorit bocah cilik itu.
"Manjat lagi mas?" tanya Hira begitu sang suami membawa bocah cerdik itu. Eling langsung menurunkan sang putri.
"Ibu kan sudah bilang kalau jangan manjat pohon lagi. Nanti kalau jatuh dan kenapa-napa gimana? yang sakit nanti Shima dan ibu nggak mau rawat Shima lagi? mau?" langsung saja bocah itu memeluk erat sang ibu, "maafin Shima Bu, Shima hanya ingin jambu dengan Gatra." Tuturnya.
Kemudian Hira mendongak menatap sang suami, "Shima ingat kan kata-kata ayah tadi?" Shima mengangguk mengerti, lalu Hira menatap sang putri, "kamu anak perempuan kenapa seneng manjat pohon sih nak? nggak takut jatuh?"
Shima menggeleng, "nggak Bu. Shima suka manjat karena bisa lihat bawah, kalau jatuh sakitnya Shima yang rasa, habis itu manjat lagi nggak papa." Ujar gadis kecil itu polos. Hal itu lantas membuat Hira gemas dengan tingkah sang putri dan menggelitiki hingga bocah kecil itu tertawa keras.
*****
Setelah seharian di buat repot sana-sini, akhirnya Hira bisa istirahat juga. Perempuan itu lantas menghampiri sang suami yang sedang menonton pertandingan sepak bola.
"Siapa yang main Mas?"
"MU sama City." Hira mengangguk, sedikit demi sedikit Hira tahu tentang dunia perbolaan itu karena entah mengapa sewaktu hamil, Hira suka sekali menonton bola sehingga ia sedikit mulai paham dengan liga Inggris dan kawan-kawannya.
"Seru dong Mas. Nonton dulu lah habis itu tidur." Lalu perempuan itu duduk di samping sang suami.
"Capek ya?" tanya Eling begitu melihat wajah lelah sang istri. Hira tersenyum. "Lumayan." Jawabnya. Hira memang sedikit kecapekan kali ini.
"Lain kalo jangan di forsir ya tenaganya. Kamu terlalu bersemangat tadi bersih-bersihnya." Hira terkekeh pelan. "Kemarin weekend nggak bersih-bersihnya rumah Mas terus ini ada kesempatan ya langsung eksekusi aja." Ucap perempuan itu.
Tiba-tiba saja Eling menarik kepala Hira lembut untuk bersender di bahunya, "sudah lama nggak me time bareng."
"Selalu gagal di ganggu bocil ya Mas?" Hira terkekeh kembali. Sementara Eling tersenyum tipis.
"Nggak tau kenapa punya anak perempuan tapi berasa laki-laki tapi Mas bersyukur sekali. Makasih ya dek udah kasih Mas kebahagiaan yang luar biasa."
Hira tersenyum. "Jangan berterimakasih sama aku Mas. Mas juga punya andil disini, kita sama-sama melengkapi kekurangan kita masing-masing."
"Nggak terasa dek, kita udah lewati banyak rintangan. Kamu udah sabar dan luar biasa dalam dampingi Mas. sudah berjuang membesarkan Shima. Sudah berjuang melahirkan Shima walau tanpa Mas. Sudah menjadi ibu hebat juga." Eling menyentuh tangan kanan Hira lembut. Masih ingat ketika Hira harus melahirkan tanpa dirinya. Waktu itu Eling mendapat tugas untuk menjaga di perbatasan karena terjadi kerusuhan di sana.
"Menjadi perempuan itu bukan pilihan Mas, tapi Hira bangga bisa menjadi seperti sekarang ini. Bisa menjadi ibu buat Shima. Nggak ada yang lebih indah selain mengurus kalian."
Eling kembali bersyukur kepada Tuhan. Tuhan sangat baik sehingga memberinya seorang istri yang begitu luar biasa. Istri yang bijaksana dan sabar dalam menghadapinya. Istri yang luar biasa dalam mendidik putrinya. Lalu nikmat Tuhan manakah yang kau dustakan?
...
Jepara, 20 Februari 2020
Revisi : 15 Juni 2020
KAMU SEDANG MEMBACA
Hira
General FictionApasih yang buat kamu bahagia? Uang, wajah cantik atau mungkin kebebasan. Bagi gadis bernama Hira Nirbita Airlangga Hirawan kebebasan adalah hal yang ia tunggu sejak dulu. Uang tak memberinya kebahagiaan yang hakiki. Hanya sebatas formalitas yang me...