Mulat Sarira Hangrasa Wani

19.6K 1.4K 59
                                    

"Kenapa Mas nggak jujur dari awal sih? Hira sudah mikir kemana-mana. Hira juga udah nyalahin Ayah. Hira juga udah nyalahin takdir karena sudah berprasangka buruk pada Tuhan." Hira menatap Eling dengan tatapan yang sayu. Kini ia beruraian air mata kembali. Ia kecewa lantaran sudah di bohongi oleh Eling, semuanya terasa sudah kompak berbohong padanya.

Lantas Eling berlutut padanya dan menggenggam kedua tangan Hira lembut, "maaf, Mas terlalu egois dek. Memang Mas salah untuk hal ini tapi Mas bener-bener serius sama kamu. Mas udah minta petunjuk sama Allah dan minta saran ke orang-orang yang Mas anggap tepat dan jawabannya tetep sama, kamu memang orang yang tepat untuk Mas."

"Walaupun awalnya Mas ragu karena kita tidak begitu saling mengenal tetapi Mas yakin seiring waktu kita bakal bisa menyatu dengan baik. Mas tahu jika ide perjodohan ini konyol, tapi Mas takut jika kamu akhirnya menolak dan membuat suasana semakin keruh."

Lantas Hira melepas genggaman Eling dan memeluk sang suami. Biarlah dia dikata apa, tapi dia benar-benar kaget sekaligus kagum dengan kesungguhan hati sang suami yang berusaha menemukan dirinya kembali.

Eling memeluk erat sang istri dan membisikkan kata maaf berulang kali. Lantas Hira melepas pelukannya. Ditengah-tengah tangisnya, Hira berkata, "percuma Mas minta maaf, emang takdirnya Hira sama Mas gimana lagi?" Eling langsung terkekeh dengan Hira yang berusaha berbicara sedangkan Hira masih menahan isakan yang ada.

Lalu Eling menarik nafasnya, "dek, maafin Mas lagi ya? nggak seharusnya Mas percaya begitu saja. Mas yakin kamu nggak bakal bicara seperti itu. Maaf Mas yang nggak mikir panjang. Maaf Mas udah nglanggar janji di hadapan ayahmu." Hira mencoba tersenyum dan menggeleng. "Mas jangan minta maaf terus. Hira capek dengernya. Mending Mas memperbaiki dengan memenuhi janji Mas sendiri. Hira nggak papa kok." Balasnya.

Lantas Eling tersenyum dan menghapus sisa air mata Hira. "Kamu nggak pantes nangis. Nanti sangarnya hilang." Ucap Eling kemudian. Hira langsung mencubit lengan Eling, "nggak bisa romantis dulu Mas?" ucap Hira gemas. Sedangkan Eling langsung tertawa.

"Inilah yang membuat Mas nggak bisa berkutik lagi. Lha wong tiap hari di kasih pemandangan muka jutek gini."

Hira mendengus, "aku jutek emang kesel banget Mas. Gimana nggak kesel kita menikah tanpa cinta?"

Lantas Eling duduk di samping Hira, mengambil tangan kanan Hira untuk di genggam. "Kamu tau nggak, Mas dulu yang namanya pegang-pegang cewek tuh gak pernah. Mas paling sebatas salaman biasa. Tapi semenjak kamu jadi istri Mas, Mas jadi pengen genggam tangan kamu terus. Rasanya Mas nyaman sama kamu."

"Dih beneran? nggak boong kan?" Hira menyipitkan matanya, membuat Eling berdecak, "kamu emang paling jago menghancurkan momen deh dek." Hira langsung tertawa.

"Biarin. Soalnya aneh aja Mas, kita dipertemukan dengan cara yang menurut Hira tuh kagak ada enak-enaknya lah. Terus mendadak ada perjodohan dan nikah. Kayak kilat alias cepet banget tapi kita seakan saling mengenal dan seperti menikah karena perasaan. Apa Mas ngrasa begitu?" Hira bertanya dengan apa yang mengusiknya kemarin. Tentang rasa nyaman yang hinggap ketika berdekatan dengan Eling. Hal itulah yang sempat menggoyahkan hati Hira.

"Lalu menurut kamu, apa definisi cinta dek?" Tanya Eling.

"Cinta itu tak perlu di gembar-gemborkan menurut Hira. Cukup dirasakan saja. Cinta hadir tanpa disangka itu bisa terjadi, biarlah ini mengalir seperti air yang jernih, berjalannya waktu kita pasti saling mengasihi. Witing tresno jalaran soko kulino." Kini Hira kembali menjawab.

Lantas Eling menatap Hira dalam, "biarlah malam ini menjadi saksi jika Mas cinta sama kamu. Mas nggak mau berjanji tapi akan selalu berusaha membuat kamu bahagia." Ucap Eling mantap. Ia sudah terusik dengan perasaan aneh yang memercikkan benih cinta kepada sang istri. Lantas malam inilah juga ia telah membuka semua yang ada walaupun sempat bertengkar karena salah paham.

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang