Ta

17.5K 1.6K 43
                                    


Bukan namanya Hira jika gadis itu tak punya tekad kuat. Setelah kembali berdebat dengan sang ayah, Hira memilih kabur, lebih tepatnya ia menenangkan dirinya. Gadis itu nekat untuk pergi ke Jogja seorang diri, tanpa siapapun. Dan hanya bermodalkan nekad.

Baginya Jogja seperti kota Semarang yang begitu mudah ia jelajahi. Tanpa rasa takut, Hira datang ke kosan Rumi. Semua pelariannya ia bawa ke Jogja. Bukan maksud untuk membangkang, tetapi ke arah untuk menepi sejenak dari perdebatan yang tiada ujungnya itu jika dibumbui ego yang sama besarnya.


*****


"Darimana saja kamu?" setelah dari goa Kreo, Hira diantar pulang oleh Barata, laki-laki itu memang gentle dengan berani untuk mengantarkan Hira sampai depan rumah, bukan di depan gang. Hira awalnya menolak karena takut sang ayah akan mengetahuinya, tetapi dengan tenang Barata mengatakan bahwa,

"Laki-laki itu diciptakan untuk melindungi, menghormati, dan memuliakan perempuan, Ra. Dan bila ada yang menyakiti maupun membuat perempuan itu meneteskan air matanya walau hanya setetes, sama aja dia pengecut. Untuk kali ini dan seterusnya, biarkan aku menjadi laki-laki sejati untukmu."

Tanpa sepatah katapun Hira berjalan mengikuti Barata menuju parkiran motor. Gadis itu terlalu shock atas pernyataan Barata.

Kemudian Barata benar-benar mengantarkan Hira pulang dengan selamat. Sebelum itu bahkan laki-laki itu mengajak makan Hira di sebuah warung makan yang cukup enak dan banyak pengemarnya. Cukup sederhana tapi lebih bermakna.

"Jawab pertanyaan ayah Hira! kenapa nggak di antar Ari atau Gagat?" tanya Damar kembali. Beliau paling tidak suka jika Hira pergi tanpa pengawasannya.

Hira diam sambil menunduk. Tangannya memilin baju berbahan katun tersebut. Hira tak berani untuk sekedar menegakkan kepalanya.

Damar menghembuskan nafasnya kasar, setelah sempat kalang kabut mencari keberadaan Hira yang tiba-tiba menghilang sejak pagi, membuatnya hampir memarahi satu barak di sana. Laki-laki itu bahkan hendak menghajar para ajudannya yang tak bisa menjaga Hira. Sebegitu protektifnya kepada putri semata wayangnya itu.

"Menjaga satu gadis kecil saja kalian nggak bisa! kalian prajurit atau bukan hah!?!"

Marahnya Damar benar-benar menakutkan. Laki-laki itu juga sudah mencari bersama yang lain, sebegitu cemasnya ketika sang putri pergi tanpa pamit.

Kadang memang Damar keterlaluan dalam memarahi seseorang, tanpa pandang bulu lebih tepatnya. Amarahnya bagai lava yang baru erupsi dari gunung berapi. Begitu panas dan menghancurkan.

"Maaf yah, Hira tadi cuma keluar sama temen." cicit Hira pelan.

"Keluar? kenapa nggak izin ayah atau mama? jawab Hira!" Hira berjenggit kaget mendengar bentakan dari Damar. Seumur umur ia baru mendapat bentakan dari sang ayah. Tak pernah Damar semarah itu padanya, apalagi membentak. Paling parah ia di ceramahi panjang lebar dan berakhir mendapat hukuman untuk membersihkan halaman dan rumah setiap hari.

"Ayah sudah bilang sama kamu kalau mau pergi itu izin sama ayah atau mama dulu nak. Kenapa kamu sulit sekali di beri tahu? hmm?" Kini nada Damar melembut, ia sadar jika salah setelah membentak sang putri. Namun ternyata Hira sudah menumpahkan air matanya. Ia kesal lantaran masih saja di nasehati ketika keluar main. Ia sudah besar dan bisa menjaga diri, begitu pikirnya. Ia keluar juga bukan untuk bermacam-macam diluar sana, tetapi tetap saja sang ayah tidak bisa memahaminya.

"Ayah jahat! nggak pernah tahu apa kebahagiaan Hira. Selalu saja mengekang Hira. Pergi main saja harus di antar, Hira sudah besar ayah! Hira sudah besar!" Gadis itu berkata dengan nada tinggi hingga Damar menatap putrinya itu tak percaya. Tak pernah sekalipun Hira membentak dirinya atupun Kencana dan baru sekali ini membentaknya.

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang