Ja

14K 1.2K 16
                                    

Hari ini Hira menjemput sang abang yang masih berada di Magelang. Rencananya Hira diantar oleh salah satu ajudan ayahnya sedangkan ayah dan mamanya akan menyusul nanti. Hira pun hanya melaksanakan perintah ayahnya.

Namun Hira agak bingung ketika yang mengantarkan dirinya bukanlah Gagat, tetapi orang lain lagi. Namanya Pratu Ali, Hira taksir umurnya sekitaran 30an.

"Maaf Om, izin tanya, Serda Gagat yang biasanya antar Hira kemana ya?"

"Maaf Mbak Hira, sekarang saya yang disuruh bapak buat ngantar mbak."

Hira lantas mengerutkan dahinya, Gagat tidak lagi mengantarkan dirinya? mengapa? pasti telah terjadi sesuatu. Pikir batinnya.

Lalu Hira mengirim pesan Gagat lewat layanan aplikasi Whatsapp, namun justru ceklis satu. Berkali-kali Hira menghubungi Gagat hingga tak sadar sudah sampai di Magelang. Hal itu juga yang membuat moodnya Hira berantakan.

Hira yang biasanya antusias ketika sampai di Magelang yang akan beli makanan di sekitaran jalan, kini tak mood lagi. Gadis itu menatap nanar gawainya dan kini tahu dirinya sudah di blokir oleh Gagat. Dalam hati Hira bertanya-tanya, mengapa Gagat memblokir dirinya tanpa alasan yang jelas? Hira juga kecewa dengan Gagat yang tiba-tiba menghilang tanpa alasan yang jelas.

"Kenapa dek? mukamu nggak enak bener dilihatnya." Raksa yang biasanya acuh pun kini bertanya setelah merasa adiknya itu diam saja sejak tadi. Bahkan Hira berkali-kali mendengus kesal sambil menatap gawainya.

"Lagi nggak mood bang. Masa orang yang biasanya ngantar Hira kini udah nggak ngantar lagi. Hira udah WA nggak dibales dan kemungkinan di blokir. Sebel aku Bang." Adu Hira pada sang abang.

"Coba telepon pake pulsa." Usul Raksa yang langsung dilaksanakan cepat oleh Hira. Batinnya merutuki dirinya yang begitu bodoh melupakan satu alternatif lain.

Kemudian Hira menelpon Gagat langsung dengan jaringan telepon biasa. Tetapi telepon Hira belum juga diangkat padahal ini adalah waktu istirahat siang.

Sementara itu, Gagat menatap nanar nomor Hira yang kini menghubungi dirinya lewat jaringan telepon biasa. Sudah berkali-kali gadis itu menghubunginya dan sudah berkali-kali pula Gagat tak mengangkat ataupun sekedar merejectnya. Gagat hanya membiarkan ponselnya itu berbunyi terus menerus.

"Eh Gagat, hape lo daritadi bunyi terus. Angkat lah kali aja penting." Ucap Faris, teman yang sedari tadi berada di sampingnya.

"Nggak Ris. Aku biarkan saja."

Faris lantas berdecak, "hei kalau lo nggak bisa angkat, matiin saja ponselnya, tak gangu kah ponsel lo bunyi terus?" gerutu Faris. Gagat lantas mematikan ponselnya, kemudian membukanya dan mengambil SIM cardnya. Lalu dengan sekali patahan, SIM Card tersebut patah menjadi dua bagian dan dengan teganya membuang SIM card tersebut.

Faris di sampingnya hanya bisa melongo melihat tindakan Gagat yang begitu menyisakan tanda tanya besar. Mengapa laki-laki itu justru mematahkan SIM cardnya secara brutal tanpa pikir dua kali?

"Heh kenapa lo patahin SIM cardnya bro? ada masalah?" Gagat menggeleng dengan wajah tenangnya. Laki-laki itu kemudian bangkit dan pergi tanpa pamit kepada Faris.

"Dasar aneh!" gumam Faris melihat Gagat yang seperti orang kehilangan sesuatu.

Maaf, mungkin penolakanmu tak berarti apa-apa untukku karena aku masih bisa saja berjuang lagi untukmu. Namun nyatanya semesta tidak mengijinkan diriku bahkan sebelum diriku ini memulai perjuangan untukmu.


*****


"Bang nggak bisa. Nggak aktif Bang. Gimana?" di tempatnya Hira sudah memasang wajah panik setelah panggilan ke 15nya justru terdengar tidak aktif. Lantas gadis itu mengadu kepada Raksa yang masih anteng di tempatnya.

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang