Kidung Kedresaning Kapti

17.6K 1.5K 119
                                    

Katanya jika ingin mengetahui sifat seorang laki-laki maka pancinglah dia dengan emosi dan lihatlah bagaimana mereka menyelesaikan masalah yang ada. Jika dia lebih emosi dan kasar, maka sifatnya memang begitu karena sejatinya yang namanya watak sulit sekali di rubah.

Sesuai apa yang di ucapkan oleh Rosa, aku sengaja memancing Eling agar laki-laki itu marah. Aku memang sengaja membuat Eling marah dan ingin tahu bagaimana marah dan cara mengendalikan emosinya.

Maka aku merencanakan sesuatu untuk itu. Aku dan Eling kemarin berdebat tentang masalah design undangan. Aku kekeh dengan design yang nyentrik sedangkan Eling menentang keras karena di anggap aneh dan norak, memang dasarnya dia saja yang kaku dan tidak tau makna artistik. Kami sempat berdebat panjang hingga akhirnya akulah yang legowo dengan design yang menurutku pasaran itu.

Namun, aku tak kehilangan akal, sebelum naik cetak, aku sengaja datang ke perusahaan percetakan tempat dimana undangan kami di cetak. Aku kembali meralat design yang aku inginkan. Biarlah aku ingin tahu bagaimana reaksi Eling itu.

Dan benar, laki-laki itu langsung menelponku malamnya dan menanyakan mengapa aku merubah kembali ke design yang menurutnya norak itu. Dan dengan santai aku mengatakan jika aku lebih suka yang begitu. Lalu apa yang ia lakukan? ia ingin bertemu di percetakan keesokan harinya.

Keesokan harinya kami bertemu di percetakan, dia hanya menatapku lalu menanyakan kapan jadinya undangan tersebut, tak mengomentari apapun padaku. Lalu akulah yang gatal sendiri mengapa Eling tak marah, lantas aku memberanikan diri untuk bertanya.

"Kamu nggak marah saya rubah konsep awal?" tanyaku setelahnya.

Lalu Eling menatap diriku dengan wajah yang sampai sekarang aku anggap sangat menyebalkan itu. "Kalau kamu suka yang itu ya sudah, percuma mas debat sama kamu kalau akhirnya kamu yang bakal bertindak."

Aku tersenyum tipis, ternyata Eling tidak marah ataupun bagaimana. Laki-laki itu malah menawarkan apa yang ingin aku rubah dalam konsep pernikahan kami agar nantinya WO tidak kerepotan mengganti ganti akibat seleraku yang aneh ini.

"Kenapa mas nggak marah sama saya? saya kan sudah merepotkan Mas?" lalu aku beranikan untuk bertanya seperti itu.

Eling kembali menatapku, "buat apa saya marah sama kamu dek? kalau kamu suka ya silahkan. Lagipula kamu seleranya emang nyentrik dan mas harus paham itu."

"Tapi saya sudah merepotkan loh. Mas harus rela bolak-balik Malang-Jogja hanya demi mengurusi konsep pernikahan yang sering aku debat sana sini." Aku kembali memancing Eling dengan pertanyaan yang masih membuatku penasaran. Aku masih kepo mengapa Eling tetap begitu sabar menghadapi diriku yang riweh ini, padahal jika rata-rata laki-laki lain pasti sudah angkat tangan dan tak mau mengurusi lagi, tetapi Eling justru masih sabar dan mau mendengarkan apa yang aku inginkan.

Lalu Eling menghela nafasnya pelan, "mau jawaban jujur apa nggak?"

Sedangkan aku langsung memutar bola mataku malas, "mulai deh." Lantas Eling terkekeh pelan. Akhir-akhir ini Eling lebih suka tersenyum dan terkekeh, walau sering juga wajah menyebalkan itu mampir di penglihatanku.

"Sudah kewajiban mas membuat istri mas bahagia, udah cukup." Jawabnya singkat. Lantas aku protes kembali, "aku belum jadi istrimu Mas."

Eling menggeleng, "tapi kamu sudah jadi masa depanku." Setelah itu aku hanya terdiam menatap Eling yang menyingkir karena gawainya berbunyi. Pelan, aku menyentuh dada kiriku. Ada apa denganku ini?


*****

"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bilmahril madzkur haalan."

Hira Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang