Hira hanya bisa menatap kosong di depannya. Beberapa minggu ini Hira kelihatan tidak bersemangat lagi. Bayang-bayang perjodohan kembali menghantuinya. Ia bimbang, apakah melanjutkan atau membatalkan saja.
Semisalnya ia membatalkan, akan ada banyak hati yang ia kecewakan. Tetapi jika ia terima, apakah hatinya yang akan kecewa sebab mereka menikah juga tidak ada cinta di dalamnya. Cinta? bukankah bisa datang karena terbiasa?
"Ehem!" Hira yang masih melamun lantas tersentak kaget dan mendongak menatap laki-laki yang berdiri menjulang tinggi di depannya itu.
"Telat 15 menit 20 detik." Ucap Hira sambil menatap jam tangannya. Lantas gadis itu menatap Eling dengan pandangan jengah. Hira sebenarnya malas bertemu dengan Eling, tetapi laki-laki itu memaksa untuk bertemu. Eling berdalih jika dirinya ingin mengenal lebih dekat dengan Hira. Selama waktu satu bulan ini benar-benar di manfaatkan Eling dengan menghubungi Hira. Laki-laki itu terkesan perhatian dengan Hira. Sesekali juga Eling menelpon Hira hanya untuk menanyakan kabar. Hira yang awalnya aneh dengan sikap Eling lama kelamaan menjadi terbiasa dengan Eling yang kadang menyebalkan itu.
"Katanya disiplin kok malah telat dari perjanjian awal." Cibir gadis itu. Sedangkan Eling malah membaca menu makanan di food court, mengabaikan nyinyiran Hira.
"Tadi macet ada iring-iringan. Lagian kamu sensi banget sama saya." Balas Eling juga tak mau kalah.
Sedangkan Hira memutar bola matanya malas, ekspresi andalannya ketika kesal dan tak berminat pada sesuatu.
"Gimana nggak sensi, kamu kenapa sih milih saya? kenapa nggak di tolak saja. Kita juga nggak ada cinta." Ucapan Hira membuat Eling menatap serius Hira.
"Cinta bisa di cari dek Hira. Mungkin kamu hari ini bilang benci tapi besok bisa saja kamu bilang cinta ke saya."
"Nggak mungkin!" sela Hira cepat. Ia tak suka dengan Eling yang seakan-akan tak berdaya dengan perjodohan ini padahal laki-laki itu punya kekuatan untuk membatalkan perjodohan. Tetapi Eling seakan-akan legowo dengan hal ini.
Namun justru Eling tertawa, tawa renyah yang baru pertama kali Hira dengar. "Kamu lucu deh. Ayok ikut saya,"
"Kemana?"
"Ayo ikut aja."
Tak ayal Hira membereskan beberapa barang di atas meja dan mengikuti Eling dari belakang.
Hira lalu di arahkan ke parkiran mobil, "kamu nyetir dari Malang ke Jogja?" Hira menutupi kepalanya dengan tangan karena panas yang begitu terik. Lalu gadis itu langsung masuk ke dalam mobil setelah di bukakan oleh Eling. Bukan tanpa alasan, Hira terlihat kerepotan saat ini.
Hira menghembuskan nafasnya lega. Akhirnya ia merasakan AC yang dingin setelah hari yang begitu panas ini.
"Iya, aku nyetir dari Malang ke Jogja." Jawab Eling begitu laki-laki itu hendak mengemudikan mobilnya.
Hira lalu terdiam. Kemudian jarinya bergerak menghubungi Rosa. Gadis itu mengetikkan sesuatu di sana.
"Loh mau ke Magelang?" tanya Hira begitu gadis itu menyadari jika mobil melaju ke arah Magelang.
"Iya, kita mau ke wisata di bawah gunung Andong." Jawab Eling.
"Lah ngapain?" Hira masih belum mengetahui maksud Eling sebenarnya.
"Udah diem duduk manis, nanti kalau udah sampai baru tahu kemana." Sahut Eling tanpa memperdulikan Hira yang sudah masam wajahnya.
Dalam perjalanan ke Magelang, baik Hira maupun Eling sama-sama terdiam. Mereka masing-masing memiliki pemikiran sendiri-sendiri. Hira juga menamatkan jalan yang dilaluinya. Hingga ia sadar jika itu jalan menuju sebuah wisata alam yang masih berbau pedesaan di kawasan Gunung Andong.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hira
General FictionApasih yang buat kamu bahagia? Uang, wajah cantik atau mungkin kebebasan. Bagi gadis bernama Hira Nirbita Airlangga Hirawan kebebasan adalah hal yang ia tunggu sejak dulu. Uang tak memberinya kebahagiaan yang hakiki. Hanya sebatas formalitas yang me...