20. Kepingan Puzzle

690 102 25
                                    

Rio merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Kepalanya menatap langit dengan kedua tangannya ia jadikan bantal. Sekilas muncul wajah Ify yang tengah tersenyum di sana. Lalu wajah Ify ketika sedang marah ataupun kesal. Berlanjut dengan Ify yang mencebikkan bibirnya ketika sedang merajuk padanya. Rio tersenyum kecil menikmati bayangan yang ia ciptakan sendiri. Entah kenapa dia tiba-tiba ingin mengingat semua ekspresi wajah Ify yang dulu dengan mudah bisa membuatnya bahagia. Ya, Rio hanya ingin membebaskan hatinya saat ini. Menikmati perasaan sakitnya akan kenangannya bersama Ify dulu. Berusaha jujur pada dirinya sendiri jika hati yang ia simpan dengan sangat rapi, masih utuh tanpa bisa terganti.

Lalu terbesit dalam pikiran Rio tentang keadaan Ify saat ini yang jauh berbeda dengan dulu. Meski kecewa itu masih ada, tapi Rio tak bisa untuk tidak peduli tentang keadaan Ify selama mereka berpisah. Benarkah Ify baik-baik saja setelah melepasnya? Bagaimana hubungan Ify dengan laki-laki itu? Mereka masih bersamakah? Atau sudah berpisah?

Rio bangkit dari tidurnya. Mengacak-acak rambutnya frustasi. Ya, selalu begini jika Rio memikirkan Ify. Tidak akan ada perasaan tenang sebelum dia mendapat jawaban dari semua pertanyaan yang tertanam dalam benaknya. Lalu, haruskah Rio diam-diam mencari informasi tentang kehidupan Ify selama ini?

"Buat apa lo tahu?" Gumam Rio pada dirinya sendiri. "Apapun yang terjadi sama dia juga bukan urusan lo lagi, kan?" Lanjutnya masih berbicara sendiri.

"Tapi gue cuma pengen tahu. Gue cuma pengen mastiin dia bahagia mesti tanpa gue." Rio memukul sendiri kepalanya.

"Bego lo, Yo. Jelas-jelas. Dia bahagia tanpa lo. Karena emang itu yang dia mau dulu." Rio menendang bantal  yang ada di kakinya hingga jatuh ke lantai. Kemudian berbaring lagi sambil berusaha memejamkan mata. Mengenyahkan sosok Ify yang sudah seperti hantu saja bergentanyangan di pikirannya.

"Anjay!" pekik Rio kesal pada pemikirannya sendiri. Dia kembali bangkit dan keluar kamar. Ruangan kamarnya yang ber-AC tiba-tiba terasa pengap. Rio lantas memutuskan untuk keluar dan berdiri di balkon kamarnya. Menikmati pemandangan malam di gedung apartemennya. Rio memang bersedia menjalankan perusahaan sang kakek. Tapi tidak untuk tinggal di rumah mewah keluarga besarnya itu. Itulah sarat yang Rio ajukan ketika menyetujui pertunangannya dengan Rena.

Sejak pertama bertemu dengan gadis itu yang ternyata masih duduk di bangku SMA, Rio sama sekali tak memiliki perasaan apapun pada Rena. Rio bahkan sering tidak pernah menganggap jika gadis itu adalah tunangannya. Tapi, berbeda dengan Rena yang sudah seperti cicak ketika bertemu dengannya. Rena akan tanpa malu memeluk ataupun mengajaknya berbicara. Sehingga membuat Rio yang tengah berada dalam kondisi membutuhkan seseorang, tanpa sadar Rio menikmati kebersamaanya dengan gadis itu. Rio mulai terbiasa dengan semua perhatian Rena sehingga membuatnya selalu berusaha melakukan hal yang sama. Rena membantunya bangkit dari ketepurukan. Membuat Rio kembali lebih merasa hidup dengan cinta dan perhatian dari gadis itu.

Rio menatap sebuah foto yang sudah ia simpan sejak lama. Lalu mengusap dada kirinya yang kini sama sekali tak bereaksi. Tidak ada hal yang mengusiknya. Semua terasa biasa saja dan juga hambar.

Lalu Rio menatap sebuah foto figura ukuran A4 yang tadi ia ambil dari dalam laci lemari.

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang