5. Mencoba dan Tanda

980 127 29
                                    

Hari ini adalah hari yang sangat mendebarkan bagi Rio. Hari yang ia nanti sekaligus hari yang membuatnya ingin kabur karena belum bisa menerima kenyataan. Kenyataan bahwa sebentar lagi dia akan meninggalkan statusnya sebagai mahasiswa. Hari yang mungkin akan menjadi sejarah bagi Rio tentang bagaiman usaha kerasnya selama ini terbayar. Masih di dalam ruang sidang Rio sedang di babat habis oleh semua penguji. Sedangkan, Cakka, Gabriel dan Alvin menunggu dengan harap-harap cemas di luar. Mereka saja deg-degan setengah mati, bagaimana dengan Rio yang saat ini di pusingkan dengan beberapa pertanyaan yang harus di jawab oleh pemuda itu.

"Anjir! Cuma nungguin aja badan gue rasanya udah panas dingin gini." Gabriel menangkup kedua tangannya yang memang terasa seperti ingin membeku. "Coba deh, yang kamu pegang." Gabriel menyodorkan kedua tangannya pada sang kekasih. Meminta agar kekasihnya itu memberinya kehangatan.

"Iya yang, dingin banget." Tanggap seorang gadis dengan rambut panjang hitam legam yang tergerai indah itu. Dia terkekeh melihat Gabriel tampak frustasi menunggu Rio di dalam sana.

"Ini gunannya, yang, aku ajak kamu." Gabriel menjawil hidung kekasihnya yang bernama Shilla itu.

"Kira-kira Rio lulus, nggak, ya?" Tanya Cakka berusaha tenang. Sok cool dia dengan pose menyimpan kedua tangannya di saku celana. Ingin menunjukkan pada dua wanita yang menemani Gabriel dan Alvin bahwa dialah cowok terkeren di sini.

"Najisin lo, Cak." Seru Gabriel melihat gelagat akting Cakka yang selalu mampu ia baca.

Alvin terkekeh kemudian menunduk menatap kekasihnya yang juga tertawa kecil melihat tingkah Cakka.

"Najisin mana sama mesra-mesraan di tempat umum." Tanggap Cakka menyindir. Membuat Gabriel ingin sekali menendang bokongnya. Bukan kesal lantaran sindiran Cakka, melainkan itu wajah tolong di kondisikan. Nggak usah sok cool! Dan tolong ngaca, Cakkara Yudha Bramantya.

"Kambing. Bilang aja lo sirik."

"Maaf. Nggak ada kamus sirik di kamus gue."

"Wah. Cakka punya kamus? Apa nama kamusnya. Seinget aku nggak ada deh nama kamus Cakka."

Cakka, Gabriel dan Shilla menghela bersama. Sadar jika pacar Alvin itu manusia cantik dengan iq yang cukup rendah. Tulalitnya ampun-ampunan.

Lain halnya dengan ekspresi pasrah ketiga orang itu, Alvin justru terkekeh. Mencubit gemas pipi gembil kekasihnya yang terlihat seperti bakpau itu.

"Bukan kamus seperti maksudnya, Sivia. Tapi, lebih ke perumpaan kalau dalam hidup Cakka, dia nggak pernah merasa sirik sama seseorang." Memang hanya Alvin yang bisa sabar dan bersikap sedewasa ini menghadapi orang-orang menyebalkan. Contohnya, Sivia, kekasihnya sendiri dan juga Rio yang suka marah tiba-tiba.

"Oh gitu. Aku pikir Cakka beneran bikin kamus sendiri." Sivia nyengir.

"Lebih prihatin sama Alvin gue punya pacar tapi nggak bisa di ajak ena-ena. Terlalu polos gini." Cakka tertawa kecil. Alvin dan Shilla kontan mendelik pada Cakka, sementara Gabriel terkekeh. Senang karena setelah ini, Cakka pasti akan habis di tangan Alvin.

"Ena-ena itu apa?" Tanya Sivia menatap Alvin dengan wajah polos. Meminta penjelasan tentang apa yang di katakan Cakka.

"Bukan apa-apa. Jangan dengerin Cakka. Mulutnya emang perlu aku filter nanti." Jelas Alvin mengusap lembut rambut Sivia yang masih berdiri di sampingnya.

"Dan lo, Cak." Alvin beralih ke Cakka. "Nggak semua hubungan menjurus ke arah hal seperti itu. Sebagai cowok, lo harus menjaga, menghormati dan melindungi cewek yang lo sayang. Bukan malah merusak. Selama ini gue diem aja karena gue cukup ngehargai gimana cara hidup lo. Tapi, kalau tingkah lo membawa dampak buruk buat orang di sekitar, lo. Sorry, gue nggak bisa tinggal diem. Akan lebih baik lo bisa berpikir lebih dewasa mulai sekarang."

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang