28. Terungkap

1.4K 125 26
                                    

Setelah cukup membuat perasaan Rena membaik, Rio beranjak pergi. Meninggalkan Rena bersama sang ibu di apartemennya. Rio berusaha mengabaikan tatapan curiga sang ibu melihat wajahnya yang tampak kalut. Ekspresi penuh tanda tanya yang ibu tunjukkan tak Rio pedulikan dan dengan wajah memelas Rio memohon agar ibunya tidak banyak bertanya. Untung saja, ibu mengerti sehingga beliau membantu Rio membujuk Rena agar membiarkan Rio pergi.

Di sinilah Rio. Di depan cafe milik sahabatnya. Agni. Sudah lama Rio tidak berkunjung ke tempat ini. Tepatnya semenjak, Ify mencampakkanya begitu saja. Sejak saat itu, Rio enggan datang karena bayang-bayang akan Ify mencium laki-laki lain, tepat di depan matanya, membuat Rio di hantam rasa sakit tak bekersudahan.

"Rio! Woy!" Suara itu berteriak tepat ketika Rio membuka pintu cafe. Dari suaranya, Rio sudah bisa menebak. Siapa lagi kalau bukan Gabriel.

Rio melangkah santai dengan kaki panjangnya. Menuju tempat yang berada di sudut cafe dekat jendela. Tempat yang biasa mereka duduki sehabis tampil. Tampil? Satu kata itu membuatnya langsung teringat pada sosok Ify. Bukan sekali dua kali, Rio tampil bernyanyi di cafe ini. Tapi, hanya satu tampilan yang kini berputar di pikirannya. Sosok Ify yang muncul dari balik pintu saat dia tengah menyelesaikan lagu pertamanya.

Saat sampai, Rio mengepalkan tanganya yang di sambut hal sama juga oleh Gabriel, Alvin. Dan hanya menatap datar saat pandangannya beradu dengan Cakka.

"Gak pesen makan lu pada?" Rio melihat hanya ada tiga gelas minuman di atas meja.

"Kagak, gue baru makan soto tadi di kantin kantor." Jawab Gabriel.

"Gue di bawain bekel sama Sivia." Alvin dan Sivia. Huhungan mereka memang awet sekali. Padahal, bisa di bilang mereka jarang ketemu di karenakan Alvin yang sibuk bekerja. Sementara Sivia juga di sibukkan dengan pekerjaannya juga. Tapi, keduanya seolah sudah sangat saling mengerti. Di mana, setiap pagi, sebelum berangkat kerja, Sivia pasti mampir dulu ke kontrakan  Alvin dan Gabriel. Hanya untuk memberinya bekal makanan. Itu Sivia lakukan karena Alvin sering telat makan siang dan pernah sampai jatuh sakit. Makanya Sivia jadi cemas dan berinisiatif memasak pagi-pagi buta untuk kekasihnya. Di perhatiin seperti itu, siapa yang tidak betah coba. Niat untuk nyeleweng juga pasti di tangkis oleh pikiran Alvin.

"Enak bed lo mah, Shilla boro-boro bisa masak. Tapi gue sayang sih sama dia." Gabriel tertawa sendiri. Hubungannya dengan Shilla juga masih lancar-lancar saja. Ya, seperti kebanyakan pasangan pada umumnya yang sering bertengkar namun juga cepat berbaikan.

Sementara Cakka yang biasanya paling rame hanya diam. Memainkan ponselnya sambil sesekali tersenyum tipis mendengar celotehan sahabatnya.

"Oh iya, ngapa lu tiba-tiba minta kumpul? Kaget gue baca pesen lo ngajak kita ketemu di sini. Biasanya kan lu paling anti." Gabriel bertanya serius. Meski dengan nada bercanda. Alvin mengangguk, sebagai tanda dia setuju dengan pertanyaan Gabriel.

Rio tersenyum tipis, ekor matanya mengamati Cakka yang sedari tadi sibuk sendiri. "Mungkin dari tempat ini awal dari salah satu sahabat gue jadi penghianat." Sindir Rio. Mengubah senyumnya menjadi sinis.

Alvin dan Gabriel tentu saja memasang wajah kaget sekaligus tak mengerti. Sementara Cakka langsung mencengkeram ponselnya. Mendongak dan membalas tatapan tajam Rio yang kini hanya tertuju padanya.

"Maksud lo apa?" Geram Cakka kesal.

"Kenapa?" Tantang Rio terkekeh.

"Tunggu-tunggu, kalian kenapa dah?" Alvin menyela. Untung saja, posisi duduk mereka melingkar dan untungnya, Rio duduk di antara Gabriel dan Alvin. Jadi lebih mudah mengatur mereka untuk tidak saling melempar baku hantam. Terlebih dengan tatapan Rio yang terlihat sekali ingin meremukkan wajah Cakka.

Tentang KitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang