Chapter 9

15.8K 713 87
                                    

"Lukanya lumayan parah di belakang kepala, saya, sih, udah nebak ada pendarahan hebat dan harus dioperasi," kata dokter yang masuk bersama seorang perawat lain menuju ruangan tempat Junaidi berada.

Pria itu, yang awalnya tertidur dengan nyenyak, membuka matanya. Seluruh tubuhnya sudah terasa membaik dengan tidur selama tadi, karena ilmu tenaga dalam pemulihan yang diajarkan Datu padanya. Ia angkat badannya, kemudian duduk menghadap tirai.

"Eh, Pak, Pak!" Perawat itu menghalangi Junaidi yang siap turun dari kasur. "Pak, Anda harus berbaring ... jangan paksakan diri Anda, Pak!" tegas sang perawat.

"Saya udah sembuh, santai aja ...." Junaidi berusaha bangun, namun ditahan mereka. "Saya serius udah sembuh, beneran, deh!"

"Pak, mungkin perasaan Anda, memang sembuh luka-luka di luar kulit. Tapi di dalam, belum tentu, bukan?" Junaidi hanya menatap bingung, sementara keduanya bertukar pandang. "Pak, kita periksa ... dan setelahnya akan ditentukan apakah Bapak bisa pergi atau enggak, setuju? Kami enggak mau Bapak kenapa-napa."

Junaidi berpikir sejenak, sebelum akhirnya ia menghela napas panjang. "Yah, jangan lupa lepas ni dari tangan saya, ya?" Mereka pun mengangguk.

Dan mereka pun mengecek keadaan pria itu terlebih dahulu, sebelum akhirnya membawanya ke tempat ... yang asing bagi Junaidi. Meski demikian, ia memilih diam saja dimasukkan ke kapsul, sementara mereka berada di ruangan lain yang ada di kaca.

"Tolong jangan bergerak, ya, Pak." Dan terdengar suara bising di sekitarnya. Cukup lama, kemudian mereka selesai.

Junaidi berusaha agar tidak terlalu udik dengan ini, dan pemeriksaan kedua dengan suatu alat yang tidak ia pahami cara kerjanya. Katanya, itu scan untuk dadanya.

Selesai itu pun, Junaidi kembali ke ruangannya.

Kebetulan sedang kelaparan, makanan datang untuknya yang dibawakan oleh pria yang ia selamatkan di malam pembegalan kemarin.

"Eh, Masnya keliatannya udah sehatan," kata pria itu, meletakkan makanan ke samping meja yang begitu ditatap lapar oleh Junaidi.

"Iya, saya udah sehat ... omong-omong, itu buat saya, ya?" tanya Junaidi balik, ia mendudukkan dirinya dengan cepat dan mengambil makanan berupa nasi kotak itu setelah diberi anggukan oleh si pria.

"Mas, pelan-pelan ... takutnya ...." Junaidi tak mendengarkan, ia asyik memakan seakan tak terjadi apa-apa.

Beberapa perawat, dokter dan suster datang menghampiri keduanya. Dan bukan main ... Junaidi memang sudah sembuh bahkan hasil scan mengatakan ia baik-baik saja. Betapa bahagianya pria itu ketika infus dilepas dan kini setelah menunggu administrasi serta menerima obatnya, yang entah untuk apa, ia dan pria itu pun keluar rumah sakit.

"Mas, ini obatnya buat luka di belakang kepala ... dua kali sehari setelah makan," kata pria itu yang masih tidak diketahui Junaidi namanya. "Sekali lagi terima kasih banyak atas apa yang Masnya lakuin malam itu. Benar-benar terima kasih."

"Iya, sama-sama, Pak ...."

"Pratama, nama saya Pratama. Dan oh, ya, saya belum kenalan dengan Masnya." Ia mengarahkan tangan ke Junaidi.

"Junaidi," jawab Junaidi, menjabat tangannya.

"Oh, Junaidi, Masnya ini tujuan ke mana juga? Biar saya antarkan ...."

"Enggak tau saya." Junaidi menggaruk belakang kepalanya. Sementara si pria mengerutkan kening melihatnya. "Terima kasih juga, ya, Pak. Semua ini ... saya jalan aja."

"Eh, Mas, tunggu!" Pratama menghentikan langkah pria itu, ia lalu menatap balik dengan bingung. "Kalau ada masalah ... silakan bilang ke saya. Masnya udah nolong saya malam itu, nyawa saya gak sebanding ... apa pun akan saya lakukan untuk Masnya. Masnya perlu sesuatu?"

Junaidi menghela napas panjang. "Bapak jangan janji begitu, kalau saya minta yang enggak-enggak Bapaknya juga yang susah." Sahutan itu membungkamkan Pratama.

Tak disangka ... ada pria dengan pemikiran unik begini.

"Saya perantau, Pak. Dari Banjarmasin ... ke sini dengan kondisi sial. Saya ditipu, terus ditendang dari tanah kelahiran saya, hingga akhirnya saya ke sini. Harusnya ... saya punya uang hampir sepuluh juta, modal merantau ... tapi entah kenapa sial saya bertubi-tubi." Junaidi menghela napas gusar.

"Masnya mau pulang ke Banjarmasin? Tenang, saya bakal—"

"Enggak, Pak. Saya gak bisa pulang ... saya harus balas dendam sama mereka ... dengan sukses di sini."

"Oh, kalau begitu ... biarkan saya membantu Masnya."

Dan di sinilah Junaidi, dibawa ke sebuah rumah besar yang katanya rumah Pratama, dan ia tampak disambut baik oleh istri pria itu yang langsung menyediakan makanan untuk mengganjal perutnya di meja makan.

Mereka bilang, ia akan menjadi penjaga keamanan di sini.

Sekaligus, membuat Junaidi meneruskan pendidikannya yang hanya sebatas sekolah dasar bahkan tak lulus di masa lalu.

"Keahlian Mas Junaidi apa?" tanya Pratama, Junaidi tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab.

"Mancing, bela diri, racik ramuan, betetamba, gak ahli, sih, dalam bidang itu ...."

"Betetamba?" tanya istri Pratama bingung.

"Itu pengobatan tradisional di Banjarmasin. Saya juga bisa mulihin diri, penambah stamina, obat kuat, banyak yang bisa saya bikin. Walau gak seampuh buatan Datu."

"Datu?" Kali ini, Pratama yang bertanya.

"Kakek saya ... walau dia bukan bener-bener Kakek saya, sih. Mereka bilang saya anak pungut, dapet di padang keladi, terus katanya di mulut saya ada cicak kejepit. Jadi, saya dinamain ... Junaidi Cacak." Antara bingung, namun melihat Junaidi tertawa keduanya tertawa. "Kakek sendiri bilang saya anak pemberian nenek moyang buat dijaga, ya jelas keknya dia bukan kakek kandung saya."

"Dari Banjarmasin, ya. Bahasa Indonesia kamu lumayan lancar." Pratama memuji.

Junaidi tertawa pelan. "Saya sering nongkrong di warung, nonton sinetron Tukang Ojek Pengkolan, GGS, hehe. Otodidak." Mereka mengangguk dengan oh ria. "Dan saya pernah ngecap SD, bisa baca tulis. Cuman ... yah ... bisa dibilang primitif, ya?"

"Tenang, Junaidi, gak ada kata terlambat zaman sekarang. Kami bakalan bantu kamu. Omong-omong, usia kamu?"

"Tiga puluh dua tahun." Junaidi menjawab, ia lalu mengeluarkan dompet dan menyerahkan KTP pada mereka.

"Beda sepuluh tahun sama istri saya, dan tiga belas tahun tahun dari saya. Oh, dan saya juga punya anak. Satunya di luar negeri, dibawa suaminya, yang satu lagi ada di sini. Belum pulang. Keduanya perempuan." Junaidi mengangguk paham. "Semoga kehadiran Junaidi ... saya panggil nama, ya? Bisa jaga kami sekeluarga. Kami juga bukan dari Jakarta, kami tetanggaan sama kamu, Samarinda, cuman karena kerja saya pindah, saya ke sini sekeluarga."

Junaidi mengangguk paham.

"Omong-omong, soal pendidikan lanjutan kamu, kamu pengen kerja sama suami saya nanti di kantor, jadi ... meneruskan tetamba lebih modern, dokter, atau ... militer?"

Dan pernyataan itu, membuat Junaidi yang tak tahu menahu bingung.

"Ah, nanti saja diputuskan. Biar dikasih bayang-bayang saja nanti dan biarkan Junaidi sendiri yang milih. Lalu, jangan lupa, kamu juga harus mendapatkan ijazah ... perjalanan masih panjang." Dengan bijak, Pratama memutuskan. "Silakan makan, Junaidi, pasti laper. Setelah ini ... bersihkan diri kamu. Nanti saya pinjamkan baju, dan Junaidi mulai sekarang tinggal di sini. Di kamar tamu. Tugas khususnya jaga keluarga kami."

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

(BUKAN) SUGAR DADDY [B.U. Series - J]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang