Chapter 10

17K 729 46
                                    

"Mm ... Bapak gak takut kalau saya orang jahat? Bapak jangan terlalu percaya sama orang asing seharusnya, terutama saya ...." Tentu saja, mendengar ungkapan itu dengan rasa takut, malah membuat kedua sepasang suami istri itu semakin yakin dengan pilihan mereka.

"Jika demikian ... yah, itu takdir, kan?"

Junaidi menggeleng. "Sekalipun Datu aneh ... Datu ngelarang buat jahat. Pokoknya, lebih baik gila tapi bermanfaat bagi orang lain daripada waras tapi gak berguna dan nyusahin. Saya bakal manfaatkan kepercayaan kalian dengan sebaik mungkin, bertanggung jawab!"

Prinsip yang beda dan lain daripada yang lain, membuat keduanya semakin menyukai Junaidi. Terlebih, keduanya tahu Junaidi siapa ....

Sang istri memberitahu Pratama, jika Junaidi masuk televisi karena aksi heroik penyelamatannya kepada seorang anak di live straming ibu-ibu. Lalu, viral karena ia gembel yang tak biasa ... tingkahnya polos dan lugu meski kemudian dikejar preman. Terakhir, kebaikannya menolong mereka.

Junaidi bukan orang jahat.

Bahkan, kala Junaidi diberitahukan hal itu, ia hanya menatap bingung tanpa kebohongan ia mengatakan tak paham sama sekali. Benar-benar anak kampung sejati.

Selesai makan dengan banyak percakapan perkenal pun, ia mandi, memakai pakaian berupa kaos oblong pinjaman oleh Pak Pratama sementara pakaiannya dicuci pembantu yang ada di sana. Ia lalu diajak Pratama ke depan pagar, ke tempat pos yang ada di rumah besar itu.

Ia memperkenalkannya pada penjaga di sana, sekuriti. "Nah, ini namanya Tigor, Tigor, ini Junaidi! Dia penjaga baru, tolong dibantu!"

"Siap, Pak!"

"Junaidi, saya tinggal, ya! Tigor bakal training kamu sebentar. Kamu mulai kerja besok atau lusa aja, saya masih khawatir sama kondisi kamu."

"Eh, gak, Pak! Saya siap sedia selalu! Bapak tenang aja!"

"Jangan paksakan diri kamu, oke?" Pratama menepuk pundak Junaidi, sebelum akhirnya pria itu beranjak pergi meninggalkan keduanya.

"Gak masalah ... saya bisa bikin ramuan kuat, Pak! Saya gak bakal ngecewain Bapak," gumam Junaidi.

"Heh!" Junaidi membalikkan badan, terlihat Tigor menatapnya dari atas ke bawah. "Aku Tigor, kau ... Junaidi, kan, nama kau?" tanyanya dengan aksen batak yang khas. Pria tua berbadan tegap berisi itu lumayan juga di mata Junaidi. "Kau bisa bela diri?"

"Bi-bisa, Bang!"

"Baguslah ... di tempatku dulu banyak maling, syukurlah ada aku, walau kadang aku bisanya kejar saja sampai mampus, itupun tak terkejar karena tenagaku tak seperti dulu." Ia memegang dadanya. "Kupercayakan nanti kalau ada maling, walau di sini belum kena, tapi kuharap tak ada. Setidaknya kejar sampai kabur tanpa dapat sepeser pun."

"Oke, Bang. Siap!"

"Kuharap kita aja yang ngejar dan nangkap, biar gak dihakimi maling itu sama warga, kasian aku." Junaidi mengangguk setuju. "Kau ini angguk-angguk saja!"

"Kan emang bener, Bang. Kasian juga malingnya dihakimi. Lebih baik ditangkep, daripada dikejar doang terus dapet warga ... atau kabur aja nanti ngulangin lagi." Tigor menatapnya dengan tatapan tajam. "Aku bakalan usaha dapetin malingnya!"

"Nah, aku suka semangat kau ini!" Ia lalu mengambil ancang-ancang, kuda-kuda kungfu.

"Nga-ngapain, Bang?"

"Ngetes kemampuan kau, lah! Hayo!"

Dan tentu saja, dengan mudah Junaidi kalah, dari segi badan dan keahlian. Meski demikian, keahliannya menangkis serta mengelak cukup membuat Tigor terkagum.

"Oke saja ini kemampuan kau, tapi tak terlalu terasah. Lain waktu kuajarkan kau nanti kungfuku! Eh, astaga ... omong-omong aku baru ingat ... kondisi kau belum sepenuhnya fit! Aku rasa itu juga penyebabnya. Alamak, minta maaf aku!" Tigor berkata tanpa memberikan kesempatan Junaidi menjawab.

"Saya gak papa, Bang. Santuy!"

"Tetap saja, mungkin kelihatan sehat, tapi siapa tahu di dalamnya, kan? Ya sudah, kau istirahat saja sana!" Junaidi menggeleng. "Kau ini! Nanti kau kenapa-napa aku yang repot!"

"Sumpah, Bang! Saya gak papa ... saya mau lakuin sesuatu, males tiduran. Di rumah sakit tadi saya tiduran mulu."

"Oh, ya sudah kalau begitu, kau bisa main catur?"

"Bagapit? Atau biasa?"

Tigor mengerutkan kening. "Maksudnya apa itu? Kau bisa atau tidak?"

"Bi-bisa, Bang." Karena Junaidi mantan juara di kampungnya, dan Tigor bak pencatur profesional. Satu permainan nyatanya memakan nyaris dua jam lamanya. Hari sudah malam ... hasil seri ... Tigor menatap Junaidi yang tertawa pelan. "Seri kita, Bang."

"Kau tidur sana, aku mulai khawatir ini!" Sekalipun Junaidi kelihatan baik-baik saja, tetap Tigor merasa khawatir. Mengetahui pria itu dari rumah sakit ... baru perawatan.

"Bang, dibilangin saya udah sembuh juga." Junaidi merengut, lalu matanya menangkap sesuatu yang tergantung di dinding pos yang keduanya tempati bermain. "Eh, ada gitar, minjem boleh, Bang?"

"Kau bisa main?" Junaidi mengangguk, sejenak ia menatap Junaidi sebelum akhirnya mengambil gitar ukulele itu, menyerahkannya ke sang pria. "Aku request lagu, yak! Kau dari Banjarmasin, bukan?" Karena sambil bermain catur tadi, keduanya juga curhat banyak hal tentang masing-masing.

"Iya, lagu apa, Bang?"

"Lagu populer daerah kau, lah!"

"Siap, siap!" Mulai, Junaidi mengawali lagunya. Melodi bersemangat yang membuat Tigor berjoget ria. "Sapu tangan babuncu ampat~"

"Iyak! Tarik, Mang!" Tigor menyahuti.

"Sabuncunya dimakan api~ dimakan api~"

"Merdu sekali suara kau!"

"Luka nang di tangan~"

"Eyak!"

"Kawa dibabat~"

"Asek asek~"

"Luka nang di hati~"

"Uwaw!"

"Hancur sekali~"

"Jeng jeng jeng jeng dus!" Dan lagu pun berakhir. Bang Tigor terlihat kurang puas. "Pendek sekali, yang panjangan dikitlah!"

"Sebenernya panjang, Bang. Cuman saya gak hafal." Junaidi menyengir lebar.

Tigor geleng-geleng kepala. "Lagu daerah sendiri tak hafal, parah kau ini." Junaidi garuk-garuk belakang kepala. "Kalau begitu, yang Indonesia, yang kau hafal!"

"Lagu ... ah, iya ...." Dan terdengar alunan musik mellow pada ukulele, Tigor sudah merasakan emosinya campur aduk dan ia tahu lagu apa ini.

"Katakanlah sekarang bahwa kau tak bahagia, aku punya ragamu~"

"Eh, itu kenapa kau langsung ke reff-nya? Gak—eh, Non Kailani!" Tigor yang mengganti kalimat kemudian menoleh ke ambang pintu pos, membuat Junaidi ikut menoleh. Tampak seorang wanita muda cantik di sana.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

(BUKAN) SUGAR DADDY [B.U. Series - J]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang