Prang!
Itu celengan ayam ke sembilan yang Junaidi pecahkan, celengan terakhirnya. Dengan wajah lesu ia menghitung semuanya itu yang telah ia susun sedemikian rupa.
"Sembilan juta tiga ratus dua ribu," katanya, menyelesaikan hitungannya akan tabungan yang ia isi selama hampir satu tahun ini. Ia rajin melakukan banyak pekerjaan, bagai kuda, mau malam dan siang. Sampai pernah ia berhari-hari tak tidur hanya untuk bekerja dan bekerja dan syukurlah ramuan kuat yang diturunkan padanya mampu membuatnya bertahan tanpa jatuh sakit.
Ini kali pertamanya sakit ....
Mulutnya merengut, begitu menjelekkan wajah gantengnya, kemudian ia menangis dengan konyol. "Teganya, ae ...."
Sambil menangis, Junaidi memasukkan uang yang telah ia ikat dengan tali rapia itu ke dalam tas. Ia hanya terus menangis sampai terdengar ketukan di pintu. Junaidi meletakkan barang-barangnya itu ke lantai lagi dan membukakan pintu.
"Pipit ...." Mata Junaidi membulat sempurna menemukan mantan kekasihnya itu berdiri di depan pintunya. Ia siap memeluk namun sebuah tangan menahan pergerakannya disertai geraman sangar.
Nyatanya Kakak Pipit ada di sini.
Wajah bahagia Junaidi tergantikan kesedihan, begitupun Pipit yang sedari tadi sendu.
"Abah membari kesempatan ulun betamu pian ...." (Ayah memberi kesempatan aku bertemu kamu ....) Pipit terisak kemudian. "Maaf atas segalanya, Kak, ae. Ulun minta maaf hubungan kita harus kandas ...."
Junaidi memegang dadanya, begitu sesak. "Teganya pian mengakhiri ini, Ding. Teganya." Mata Junaidi mulai berkaca-kaca. "Kada cukupkah jujuranku, hah?! Setumat lagi sepuluh juta! Kedada kesempatan, kah, gan ulun?! Kedada, kah?! Kita membina hubungan ini handak dua tahun!" (Enggak cukupkah maharku? Sebentar lagi sepuluh juta! Enggak ada kesempatan, kah, buat aku? Enggak ada, kah? Kita bangun hubungan ini hampir dua tahun!)
"Kam handak tahu, kah, mahar gan adingku, huh?!" (Kamu mau tau mahar buat adikku berapa?) Kakak Pipit kali ini angkat suara. "Seratus juta."
Jantung Junaidi rasanya loncat ke anusnya. Seratus juta?! Sepuluh juta saja ia perlu setahun ... sepuluh tahun?! Ia keburu menjadi terlalu tua!
"Kam harusnya tahu, aku gin kada ketuju lawan keduanya, tuh. Muar aku melihat muha kada bungas keytu melamar adingku. Sayang, Abah kami harta aja tahunya ... kada menahu Pipit tesiksa." (Kamu harusnya tahu, aku enggak setuju juga. Aku benci melihat muka jelek kayak gitu melamar adikku. Sayang, ayah kami tahunya harta doang ... enggak mau tahu Pipit tersiksa.) Junaidi kaget mendengar ungkapan Kakak Pipit itu. "Kam ada duit, lo, tadi? Nah, modal ke kota aja sana, muha bungas lakas dapat duit biasanya. Jadi artis, apakah, ditolong adingku, nah!" (Kamu ada duit tadi, kan? Nah, modal ke kota aja, muka ganteng cepet dapat duit biasanya. Jadi artis, apa aja, tolong adikku!)
Junaidi benar-benar terkejut mendengar itu. Sungguh?!
"Bujur, Kak? Pian merestui ulun lawan Pipit, kah?" Pria sangar itu mengangguk.
"Lakasi, sebelum akhir tahun, itu Pipit dah kawin lawan inya!"
"Akhir tahun?" Junaidi menghintung dari saat ini ke akhir tahun. "Empat bulan, ja. Ulun sanggup, lah, yo?"
"Kam cangkalan orangnya, lo? Setahun aja kam kawa hampir sepuluh juta. Nyaman becari duit unda lihati, pang, di TV." (Kamu, kan, rajin orangnya? Setahun aja bisa ngumpul hampir sepuluh juta. Mudah nyari rezeki di kota aku liat di TV.)
Mata Junaidi berbinar, ia lalu menatap Pipit yang tampak tersenyum meski ada siratan sedih di matanya. Keduanya siap berpelukan namun sang kakak langsung menahan.
"Tempeleng, kah?" (Mau ditinju?)
Junaidi tertawa miris, kemudian menyengir. "Ulun akan beusaha, demi hubungan kita, jadi artis!"
"Ulun bulik, Kak, ae!" Pipit yang tampak lebih bahagia berpamitan, Junaidi mengangguk. Keduanya pun beranjak dari tempat Junaidi yang berupa rumah kecil yang isinya seadanya.
Junaidi benar-benar bahagia setelah menutup pintu, ia lalu mengepak barang-barangnya untuk esok menuju kota metropolitan yang paling terkenal di Indonesia. Jakarta. Ia meminum banyak ramuan kuat sebelum pria itu tidur kemudian. Subuh-subuh pun ia bangun dengan cepat, segar ceria, bersama tas besar berisi barang-barang yang ia perlukan saja pun menuju ke depan kampung.
Di pertengahan jalan, ia berpapasan dengan rumah Pipit, terlihat Kakak Pipit yang tengah mencuci motor saja yang terlihat di depan. Keduanya bersitatap, dan Kakak Pipit seakan menginteruksi pria itu agar cepat beranjak untuk mengais rezekinya.
"Ding, hadang Kakak, lah!" Ada perasaan tak rela meninggalkan kampung halamannya itu, namun ia tahu ia harus melakukannya. Ia terus berjalan menyurusi kampungnya itu, hingga akhirnya sampai di jalanan besar.
"Mang!" panggil Junaidi pada sebuah pick up yang membawa berkarung-karung bawang. Sopir pick up itu pun langsung menghentikan laju kendaraannya.
"Handak ke pelabuhan, kah, Nai?" tanya pria penyopir itu, Junaidi mengangguk dan masuk ke dalam. Mereka pun menuju ke pelabuhan yang lumayan jauh dari kampung yaitu di area yang jauh lebih besar.
Junaidi baru ingin keluar dari mobil pick up itu. "Makasih, Mang—" Ketika tiba-tiba pria itu mendekap mulutnya dengan kain yang berbau pekat obat bius. Rasa kantuk seketika menyerang Junaidi hingga pria malang itu tak sadarkan diri.
Beberapa orang pun datang, mengangkat tubuh Junaidi dan memisahkannya dengan tas besarnya. Mereka lalu meletakkan tubuh Junaidi tersembunyi di salah satu kapal di sana, menutupinya dengan terpal. Tas itu pun dibawa salah satu orang yang menggunakan motor kini menuju ke kediaman Pipit.
"Nah, Bos!" Ia menyerahkan itu ke Kakak Pipit yang menunggu bersama ayahnya tak jauh dari rumah.
"Bagus, pintar anak Abah!" Ayah Pipit menepuk pundak putra sulungnya itu yang balik tersenyum akan siasatnya yang berhasil.
Menyingkirkan Junaidi sejauh-jauhnya ....
Tanpa sepengetahuan Pipit ataupun Junaidi sendiri.
Kembali ke pelabuhan, terlihat kapal yang membawa Junaidi yang tak sadarkan diri mulai berangkat, meninggalkan kampung halamannya menuju ke kota besar yang memang tujuannya, Jakarta. Bahkan, Junaidi masih setia tak sadarkan diri ketika barang-barang berupa kotak diangkut keluar kapal dan dipindahkan dengan alat berat ke truk.
Lama ... lama ... dan lama ....
Sampai, seorang anak kecil yang dengan nakalnya tanpa sepengetahuan orang tuanya menaiki kapal itu, menginjak-injak terpal yang terdapat Junaidi yang ada di sana.
Spontan, Junaidi terbangun.
Dan karena lokasi mereka yang ada di tepian kapal, membuat anak itu pun langsung terpental jatuh ke air, dan tak perlu mencerna banyak hal lagi Junaidi membulatkan mata sempurna, kaget, sebelum akhirnya melompat terjun.
"Aduh ... Adik mana, ya, Pah?" Tampak seorang wanita dewasa bertanya pada suaminya yang sibuk menginteruksi pekerja angkut sambil melakukan live streaming di Instagram. Wanita itu tak melepaskan tangannya dari ponsel seraya menatap sekitaran.
"Astaga! Mamah stop, dong, main hapenya!" Sang suami tampak murka, menatap sekitaran kemudian khawatir."Adik! Adik di mana?!" pekik pria itu.
Sang istri tak menurut, meski demikian ia membantu suaminya ikut menatap sekitaran. Keduanya kaget melihat seorang anak kecil yang basah kuyup naik di pinggiran pelabuhan.
"Astaga, Adik!" Keduanya dan yang lain langsung menghampiri.
"Lagi! Berenang! Berenang!" pekik anak kecil itu yang nyatanya duduk di atas badan seorang pria yang menggendongnya.
"Adik ...."
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
(BUKAN) SUGAR DADDY [B.U. Series - J]
Romantizm18+ Ketika para cewek 19 tahun yang dalam masa puber kebanyakan ngehalu .... "Gue pengin punya Sugar Daddy!" kata Kailani di kala ia, Khloe dan Isabelle siap pulang ke rumah masing-masing. "Shit! Gue juga!" Isabelle merengutkan bibir. "Gue pun ... y...