"Tada!" Khloe meletakkan mangkuk besar berisi sup ayam di sana, kemudian kembali sejenak untuk mengambil piring dan meletakkan perkedel kentang berbentuk lonjong di piring berbentuk daun.
Baunya ....
"Maaf, ya, Pak, cuman bisa ini. Soalnya waktunya, kan, mepet banget." Barra membuat makanan, kemudian menyuapi Yaya yang agak enggan makan, hingga kini selesai, memakan waktu kurang lebih ... sekitar empat puluh menit. Rekor yang bagus. "Perkedelnya mungkin ada sedikit masalah ...."
Masalah apa? Bagi Barra baunya terlalu luar biasa.
"Nak itu! Nak itu!" Melihat hal tersebut, Khloe langsung menggendong Yaya lagi.
"Bapak makan aja dulu, aku mau nyuapin Yaya lagi. Dia, gak, papa, kan, makan beginian?"
"Sebenernya dia padahal gak suka makan begini, tapi tentu aja boleh." Yaya anak yang berbeda kata Barra, bahkan di usianya yang ke tujuh tahun ia suka bubur bayi daripada makanan kasar lain, dia tak suka sayur dan bahkan buah. Hingga memerlukan obat vitamin. "Malah bagus. Minyak yang dipake itu pilihan, juga yang lain."
"Oh, baik, Pak. Ya udah, silakan dinikmati!"
Dan Barra mengambil dua piring, sendok dan garpu, meletakkannya untuknya dan untuk Khloe. Pria itu mengautkan nasi ke piringnya sementara Khloe mengambil salah satu perkedel, memotongnya kecil-kecil agar muat di mulut Yaya, juga sayur di sup ayam.
"Masih panas. Tunggu, Sayang, ya!" Yaya mengangguk antusias.
Barra mencampur sup ayam ke nasinya, baunya benar-benar memabukkan. Dan setelah itu, ia menyuap. Langsung, ia terdiam membeku.
Khloe menyuapkan potongan kecil perkedel ke mulut Yaya bersama beberapa sayur, Yaya mengunyahnya dengan antusias. "Enyak!" Khloe baru tertawa bahagia melihat anak yang susah makan itu menikmati masakannya ketika tanpa sengaja matanya menatap ke arah Barra.
Masih diam.
"Pak?"
"Mm ... saya rasa saya udah telat." Barra berdiri dari duduknya, menyeka mulutnya. Sebelum akhirnya berdiri, mengecup puncak kepala Yaya. "Saya berangkat dulu!"
Khloe tak menyusulnya, ia punya kewajiban diam di sini dan membiarkan Barra pergi. Sakit hati, terlebih masakannya tak dihabiskan Barra, tersisa banyak.
Apakah tidak enak?
Anak kecil bilang enak ... ia tak mungkin berbohong? Lalu kenapa?
Khloe menghela napas panjang, ya sudahlah mungkin mulut orang berbeda-beda. Ia kembali menyuapi Yaya, setidaknya anak yang berwujud malaikat mungil ini membahagiakannya dengan makan masakan tak enaknya bagi Barra.
Barra setelah berpakaian kasual, ia lalu keluar, memasuki mobilnya dan menjalankannya dengan kecepatan sedang. Tangan kanannya memegang kemudi, sementara tangan kiri menutup bagian mulutnya. Pria itu terisak, matanya memerah dan berkaca-kaca.
Ia lalu menggeleng, menyeka air matanya kemudian, sebelum akhirnya menarik napas dalam-dalam. Menyembunyikan segala kesedihan yang menusuk ini ... tentang masakan Khloe yang mengingatkannya pada almarhumah istrinya ....
Berusaha tenang, setenang mungkin, hingga akhirnya ia bisa mengatur emosi meski agak menyesal atau apa yang ia lakukan. Meninggalkan makanan enak itu, dan ia rasa hal itu juga menyakiti hati Khloe. Namun, ia tak sanggup, ia tak ingin emosinya membuncah. Tak lama, ia sampai di tujuannya.
Di depan sebuah rumah di belakang kampus, di sana ada pria tua yang ia ketahui sebagai Liam yang menyamar, juga keluarga kecil yang menempati rumah itu.
"Yap, tepat waktu, tumben ... gegara ada yang ngurusin si Yaya, kan, ya?" Liam langsung menyambar pertanyaan, sementara Barra hanya memutar bola mata.
"Kita punya satu jam sebelum anak-anak dateng, jadwal mereka padet."
"Iya, iya. Gue juga punya waktu singkat ampe Isabelle dateng." Liam menyengir, tertawa pelan. "BTW, mata lo kenapa?"
Oh, shit ... sahabatnya ini ... sudah disembunyikan dengan cara terbaik padahal.
"Hm ... ya udah ngopi dulu masuk! Santuy! Lo gak bakal fit kalau abis mewek begini." Dan syukurlah, Liam memahaminya. Ia tahu jika pria ini hanya menangis cuman untuk keluarganya.
Liam benar-benar tahu.
Setelah minum bersama, Barra sedikit melupakan masalahnya tadi, hingga akhirnya ia pun mengajar cara keluarga kecil itu berakting dengan sebaik mungkin sebagai keluarga Liam si tua bangka. Cara berbicara agar tak terlalu kaku, gerak tak mencurigakan, meski hanya satu jam cukup baik perubahan yang terjadi.
Selesai itu, buru-buru Liam menuju ke kampus, ke bagian aula besar, tampak anak-anak drama sudah menunggunya di sana.
"Ayo, anak-anak, kita mulai!"
Sekitar pukul sembilan menuju sepuluh malam, pekerjaan Barra pun berakhir. Lelah, lesu, letih, itulah yang ia rasakan meski ia memaksakan untuk menyetir. Ia bersyukur tak merasakan kantuk yang terlalu hingga mampu berkendara cukup baik hingga akhirnya ia sampai ke rumahnya.
Yang ia temukan, seorang gadis yang duduk di ruang tengah, menyalakan televisi, kemudian menoleh ke arahnya.
Kelelahan yang ia derita, membuat wajah itu memburam, hingga Barra melihat sosok yang amat ia rindukan. "Mamah?" gumamnya pelan.
Sampai, suara yang berbeda itu menyadarkannya. "Ah, Bapak pulang ... Yaya udah duluan tidur, Pak."
"Oh, um ... Khloe." Nyaris ia salah sangka. Bisa kacau. "Kamu gak tidur? Kamarnya kamu tahu, kan?"
"Tahu, kok, Pak." Karena Sabtu dan Minggu ia berada di sini, jadi diputuskan Khloe akan bermalam untuk dua malam itu. "Aku nungguin Bapak aja, lagian aku gak terlalu ngantuk."
"Wajah kamu ngantuk banget, sebenernya ...." Khloe hanya tersenyum, dan tersirat di wajah itu selain lelah ada rasa kekecewaan di sana. Ia rasa karena peristiwa beberapa jam lalu saat makan bersama. "Omong-omong, masakan kamu tadi enak banget."
Dan Khloe menatapnya, diam, tetapi jelas mempertanyakan jika enak kenapa ditinggalkan?
"Tapi maaf saya gak sempet abisin, soalnya ternyata saya udah telat banget. Itu masih ada? Saya mau ... makan."
Sungguh? Ah, mungkin saja. Semoga Barra tak berbohong.
"Ya udah, aku nemenin makan. Mastiin, Bapak gak bohong ...." Karena terlalu lelah, Khloe tak sadar ia mengucapkan segala isi hatinya. Harusnya, ia menahan amarah.
"Iya."
Keduanya kini menuju dapur, Khloe memanaskan sup ayam itu sejenak dan menggoreng beberapa perkedel lagi yang adonannya masih lumayan banyak. Ia menyajikan itu ke hadapan Barra dengan wajah yang terlihat semakin layu.
"Makan, ya, Pak!"
"Iya, iya." Terlalu ngantuk, sampai-sampai Khloe tak sadar Barra tersenyum. Kemudian, ia mulai melahap makanannya, dan Khloe setelahnya memperhatikan dengan mata memicing berharap rasa kantuk tak mengambil alih.
Bagus, Barra makan dengan lahap.
Dan ia tak tahu, sambil makan dengan lahap, Barra kadang menitikan air mata di matanya yang merah dan berkaca-kaca. Makanan seenak ini benar-benar ia rindukan. Sungguh.
Ia terus makan, makan, dan makan, bahkan hingga seluruh yang ada di meja habis tak bersisa. Dan ia tak sadar, nyatanya mata-matanya saat makan kini telah tertidur pulas di atas meja. Dibantali tangannya yang terlipat di sana.
"Terima kasih ...." Barra berucap, ia membersihkan seluruh yang ada di meja, kemudian tanpa disangka ... ia menggendong Khloe yang tertidur lelap ala bridal style menuju kamar yang diperuntukan untuk si gadis.
Dibaringkannya gadis itu di kasur yang tersedia, sebelum akhirnya mematikan lampu, dan keluar setelah menutup pintu.
Bahagia dan kesedihan campur aduk.
Bahkan di kamarnya, di sela-sela tangisannya, ia tersenyum dan tertawa. Barra tahu ia mungkin sudah gila, kewarasannya serta ekspresinya terambil setelah Tuhan mencabut nyawa wanita yang disayanginya.
Lalu ini ... ia dibebaskan mengekspresikan emosi atau gila, ya?
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
(BUKAN) SUGAR DADDY [B.U. Series - J]
Roman d'amour18+ Ketika para cewek 19 tahun yang dalam masa puber kebanyakan ngehalu .... "Gue pengin punya Sugar Daddy!" kata Kailani di kala ia, Khloe dan Isabelle siap pulang ke rumah masing-masing. "Shit! Gue juga!" Isabelle merengutkan bibir. "Gue pun ... y...