Chapter 8

17.9K 683 43
                                    

"Eh, kenapa lo pergi gitu aja, huh? Kagak ada minta maafnya lagi udah nginjek area gua!" katanya dengan nada sangar, kemudian menampakkan tato seperti pisau di tangannya yang kurus kering.

"Maaf, Bang," jawab Junaidi seadanya.

"Hah?! Apa lo bilang?! Gak sopan banget!" Si berbadan tinggi kini maju ke depan. "Bukan gitu cara minta maafnya, ya! Duit, mana duit?!"

"Gak ada, Bang."

Mereka tertawa terbahak-bahak. "Masa muka ganteng gak ada uang!" kata si gemuk.

"Tadi saya kemalingan, Bang. Saya juga baru nyampe di kota ini."

"Dari mana, lu, huh?!" Belum menjawab pertanyaan itu, si pria tinggi melayangkan tinjuannya.

"Banyak bacot! Gue ambil paksa aja!" Dan dengan mudah, sesuai perkiraan, Junaidi menghindari tinjuan yang lambat itu dengan mudah, sebelum akhirnya berlari menjauhi mereka.

Tiga preman itu nyatanya mengejarnya ....

Namun, sesuai dugaan lagi, mereka begitu lamban hingga di pertengahan jalan saja mereka sudah kewalahan. Dirasa aman kini pria itu menatap sekitaran, berjalan meneliti sekitaran yang memang benar-benar asing di matanya dan jauh lebih luas dari kampung. Ia terus berjalan hingga langkahnya terhenti karena perutnya yang keroncongan.

Junaidi merogoh sakunya, berharap ada sisa uang di sana, dan ia menemukan dompetnya. Syukurlah kartu identitasnya ada di sana, juga beruntung ada dua ribu rupiah di sana.

Ia pikir, ia bisa membeli sebuah roti dan juga segelas air mineral, namun nyatanya ....

"Rotinya tiga ribu, air minumnya dua ribu," kata si penjual, yang seketika mengagetkan Junaidi.

"Mm ... ya udah, air minumnya aja, Bu." Dan yang mengganjal perutnya, hanya segelas air minum itu. Junaidi kembali berjalan menyusuri kota dan ia tak sadar, banyak yang memperhatikannya sedari tadi, berbeda dengan ia yang tadi menangis karena wajahnya benar-benar jelek.

Beberapa orang memotret diam-diam, tega mengatainya 'gembel cogan', dan beberapa mengekorinya karena penasaran. Ia benar-benar viral di internet ....

Ia duduk sejenak, meminum minumannya, tak sadar ia menjadi konten viral di internet. Dihabiskannya minumannya, kemudian ia pegang botolnya erat-erat, menahan lapar ... ia memegangi perutnya, benar-benar lapar.

Salah satu perempuan yang memotretnya pun merekam adegan itu, mulai dari ia memesan jajanan berupa burger, kemudian menghampiri dengan malu-malu pria dewasa itu.

"Ini, Kakak, kalau Kakak laper ...." Mata Junaidi membulat sempurna, ia menerima burger itu dari tangan perempuan manis itu.

"Astaga, makasih banyak, Mba!" Junaidi menerimanya, namun ia tak memakannya langsung dan hanya menatap bingung makanan itu.

"Jangan panggil Mba, Kak. Panggil aja saya—" Ia menghentikan kalimatnya melihat pria itu masih menatapi burger itu, ia lalu melepaskan roti paling atasnya. Ia sobek sebagian kecil itu, lalu ia makan layaknya nasi bersama daging yang ada di sana serta sayurnya.

"Cogan cogan tapi udik, ya ... keknya baru aja ke kota ...," gumam gadis itu, mengulum bibir menahan tawa. Beberapa perempuan lalu menghampiri, bersama beragam makanan masa kini mereka yang sengaja mereka berikan untuk melihat kelucuan pria dewasa kampungan itu.

"WOI!" Semuanya menoleh ke arah teriakan itu, termasuk Junaidi. Terlihat, tiga preman itu yang kini memakai motor telah menemukannya ....

Langsung saja, Junaidi berlari lagi menghindari kejaran mereka, dengan kekuatannya karena ramuan kuat ia bisa dengan gampang berlari tanpa lelah bahkan hingga malam hari. Ia terus berlari melewati gang-gang kecil agar para preman itu menyerah mengejarnya ....

Dan ia berhasil.

Kini, ia kembali ke jalan besar yang sepi, di sisi kiri dan kanan banyak pepohonan daripada pemukiman. Napasnya terengah dan ia berjalan pelan, efek ramuan kuatnya mulai menghilang dan bisa Junaidi rasakan badannya yang mulai sakit semua ....

"Ja-jangan!" Sebuah suara mengagetkan Junaidi, ia mendongak dan tak jauh dari tempatnya berdiri ada mobil di sana. Dikepung orang-orang bertopeng yang bersenjata tumpul. Seorang pria dewasa berkacamata dipaksa keluar mereka dari sana dengan ketakutan. "Sa-saya mohon jangan ...."

"Papah! Papah!" pekik wanita di sisi lain yang dipaksa keluar kemudian.

"Ambil mobilnya!"

"Maling?" gumam Junaidi, kemudian ia berteriak, "Maling! Maling!"

Mereka pun menoleh ke arah Junaidi, yang sendirinya juga sadar percuma karena tak ada apa pun di sini selain hutan sepanjang jalan.

"Hajar!" Intruksi salah satu dari mereka, tiga orang menghampiri Junaidi yang mengambil ancang-ancang siap tempur dengan mereka yang membawa benda tumpul. Juga tajam, ada pisau tersembunyi yang Junaidi lihat tersimpan di badan mereka.

Ketiganya menyerang bersamaan, namun Junaidi mundur dan menghindari serangan. Ia berlari ke arah dua lainnya yang menyekap pria dan wanita itu untuk menghajar belakang leher mereka hingga pingsan. Disuruhnya keduanya masuk di bagian belakang, sebelum akhirnya ia menyupir.

Ia pernah menjadi sopir pick up, ia rasa kontrolnya hampir sama.

Diinjaknya gas untuk maju, yang sialnya malah mundur hingga terdengar retakan karena tangan salah seorang pembegal itu terlindas disertai teriakan. Menukar sisi dengan panik, akhirnya mobil pun maju, masa bodo menabrak motor yang menghalangi mereka di depan.

Ia terus melaju hingga akhirnya di area yang ramai orang-orang, Junaidi keluar dari mobil dan menatap ke belakang di mana sepasang wanita dan pria itu masih syok.

"Bapak, Ibu, enggak papa? Bapak bisa nyetir sendiri, kan?" Pria itu mengangguk.

"Masnya sendiri gak papa?" tanyanya balik, Junaidi mengangguk.

"Jangan lupa lapor polisi, Pak!" Junaidi pun berbalik, dan baru beberapa langkah berjalan ia terhenti.

Sekujur tubuhnya sakit, kepalanya pun pening, efek ramuan kuat itu benar-benar menghilang hingga matanya mengeatas dan ia jatuh tak sadarkan diri.

"Mas! Astaga, Mas!"

Suara terakhir yang Junaidi dengar sebelum akhirnya ia tak merasakan apa pun lagi. Namun, bangun-bangun entah sudah berapa lama, ia berada di sebuah tempat di mana di sisi kiri dan kanannya ada tirai sementara di hadapannya dinding putih. Matanya berkedip-kedip berusaha menyesuaikan intesitas cahaya yang masuk.

Junaidi ingin bangkit duduk, namun rasa pening membuatnya tetap berposisi demikian sambil memegang kepalanya ....

Ada perban di sana.

"Mas, udah sadar?" tanya sebuah suara, Junaidi berusaha menyesuaikan pandangannya yang kabur hingga akhirnya menjelas. Objek manusia itu kini berada di sampingnya ... dua orang asing berpakaian putih serta seorang pria dewasa yang ia kenal, pria yang tadi ia begal.

"Kenapa ...? Aw!" Junaidi menatap ke sisi tangannya yang lain, yang nyatanya kini ditusuk jarum infus dan sedang diberi suntikan ke sana, rasanya sakit dan perih ....

"Masnya di rumah sakit, dan Mas tenang aja, saya bakal biayain. Anggap saja sebagai ungkapan terima kasih karena Mas saya selamat dari bahaya kemarin."

Junaidi tak bisa menjawab, ia hanya meringis sakit, kepalanya pun sedikit berdengung. Kepalanya terasa semakin berat dan berat hingga kehilangan kesadaran lagi.

BERSAMBUNG ....

•••

Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie

(BUKAN) SUGAR DADDY [B.U. Series - J]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang