1. Kekaguman yang Memudar

76.8K 4.7K 178
                                    

💜Happy reading💜

Jangan lupa napas

***

Isak tangis bayi memenuhi ruangan. Dari luar suara itu sudah memekakkan telinga.

Pria berperawakan tinggi tergesa memasuki rumah setelah turun dari mobil. Pelipisnya berurat, mata sipitnya jauh lebih tajam hingga siapapun akan berpikir dua kali untuk menegurnya.

Pintu terbuka lebar. Dua orang menoleh cepat, tampak gelagapan dan terlihat takut. Tangis bayi makin terdengar jelas, seakan-akan mengadu pada sang ayah.

"Dia kenapa nangis?"

Kedua pengasuh tertunduk dalam, enggan untuk menatap, apalagi untuk memberi jawaban. Ini sudah hari ketiga dan belum ada perkembangan. Bayi berusia tiga bulan itu cukup rewel, berbagai cara sudah dilakukan untuk menarik perhatiannya, namun tak ada yang berhasil.

Arya menutup mata sejenak, terlalu lelah menangani putranya. Ini tidak sama seperti bekerja lembur di kantor ataupun bepergian sampai ke luar negeri, hal kecil seperti itu sudah jadi rutinitas harian. Berbeda dengan mengasuh anak yang bahkan belum bisa berbicara, butuh perhatian lebih dan Arya sangat kurang dalam bidang itu. Dia adalah lelaki yang sangat sibuk, seorang CEO.

"Anak saya kenapa nangis?" Arya bertanya lagi sembari menenangkan bayinya.

"Saya juga nggak tahu, Pak. Kami udah tenangin dengan berbagai cara, tapi Zayn tetap nangis. Kami udah berusaha...."

Alasan kemarin malam tetap menjadi jawaban. Entah karena kekurangan kata atau memang begitu adanya.

Arya menimang lembut sambil berkata, "Cup cup cup....".

Tangis Zayn adalah kelemahan yang paling besar. Arya merasa ayah yang buruk dan memberi sugesti ke otak bahwa almarhumah istrinya pasti kecewa padanya. Selain itu, kenangan paling menyakitkan pasti kembali muncul.

"Jaga anak kita, aku percaya, kamu pasti bisa tanpa aku...."

Istri berhati lembut mengembuskan napas terakhir dalam pelukan Arya, hanya sekejap mata ia melihat bayi yang telah diperjuangkan untuk lahir ke dunia.

"Saya nggak bisa fokus kerja kalau anak saya nggak baik di sini. Lihat! Matanya bengkak karena nangis terus, saya nggak mau anak saya kenapa-napa. Lebih baik kalian nggak kerja di sini lagi. Ini demi kebaikan anak saya."

Kedua pengasuh itu mengangguk saja, mereka tidak bisa membela diri. Untuk apa lagi? Memang mereka tidak mampu. Jadi lebih baik mundur daripada mendapat makian.

Arya cukup tegas dan keras kepala. Apa yang sudah terlontar dari mulutnya sangat mutlak. Jadi orang-orang beranggapan bahwa dia adalah laki-laki yang dingin dan menakutkan. Parasnya pun mendukung. Alis tajam seperti pedang, dibingkai mata sipit berwarna hitam legam. Sekali lirikan dapat menjatuhkan lawan.

Bukan tanpa alasan Arya jadi sentimental. Dia cukup tertekan karena sampai sekarang ini belum ada pengasuh yang bisa menangani Zayn.

"Anak Papa jangan nangis terus, Papa udah di sini, temanin Zayn." Arya berucap sendu. Setelah beberapa lama bayi mungil di pelukannya akhirnya tertidur.

Arya menghela napas panjang. Dia menatap sekeliling yang terasa hampa. Banyaknya maid tak membunuh kesepian di dalam hati. Keramaian di depan mata tak bisa membunuh kesunyian dalam jiwa. Hanya karena kehadiran Zayn, Arya memiliki semangat hidup—yang mana itu juga membuat pikirannya kacau.

Berbulan-bulan Arya mencari pengasuh terbaik, bayaran yang ditawarkan tak main-main. Apapun akan diberikan asal anaknya baik-baik saja. Namun tidak semudah itu, sangat sulit!

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang