Epilog

50.3K 3.2K 171
                                    

💜Happy reading💜

***

Seharusnya Arya tidak heran lagi, seharusnya sudah bisa memaklumi. Kania tidak sama dengan cewek di luar sana. Dia lebih menyimpang, lebih mumpuni mencabut nyawa seseorang.

Mulanya, semua berjalan baik. Lima tahun yang lalu semuanya berjalan normal. Tapi itu tidak berlangsung lama.

Dua tahun ini Arya merasakan beban yang cukup berat. Kania mengetes kesabarannya. Beban yang sedang dipikulnya bukanlah semacam tekanan buruk, yang dimana setiap hari adanya perselisihan, konflik, maupun perdebatan.

Bukan! Bukan beban yang seperti itu! Melainkan hal-hal yang membuat darahnya mendidih. Terbakar api cemburu.

Arya memang tidak banyak komentar soal foto-foto yang ada di sekeliling kamar. Tapi … Arya muak kalau Kania mulai menyebut nama orang lain dalam mimpinya.

“Pagi, sayang.” Kania menyapa ramah. Setelah mandi, ia langsung membantu Bi Tuti menyiapkan sarapan. Soal makanan,  ia harus ikut andil demi tercapainya status istri yang baik.

“Hm.”

Gumaman itu terdengar dingin, ditambah wajah lesu yang Arya tunjukkan. Kania bergegas menghampiri, duduk di sampingnya sambil menopang dagu.

“Sayang, kamu marah karena aku nambahin koleksi di kamar kita?”

Arya tidak menjawab.

"Sayang...." panggil Kania lembut.

Arya melirik sebentar lalu membuang wajah. Hatinya mulai memberontak, tak lagi tentram. Dia harus protes jika tak ingin kehilangan perhatian.

"Koleksinya cuma nambah satu, kok...."

Meskipun hanya sebuah gambar, yang bahkan tak bisa berbicara manis atau merayu, tetapi Arya merasa tersaingi.

Sebulan yang lalu, Arya rutin ke tempat Gym untuk membentuk otot di perut. Usahanya membuahkan hasil. Tapi Kania tidak pernah memberikan apresiasi atas usahanya. Ia malah mengagumi perut orang lain. Bagaimana Arya tidak merana?

“Sayang….” Kania mengedipkan matanya sok imut. “Kok nggak mau lihat aku? Aku makin cantik, ya? Makanya kamu nggak sanggup lihat aku?”

“Nggak apa-apa.”

“Tapi kenapa kamu nggak mau lihat aku?”

Arya melirik sinis. “Tadi malam.”

“Tadi malam? Maksudnya?”

Arya meraih roti di meja, mengolesi permukaannya dengan selai cokelat. “Tadi malam kamu ngigau, sebut-sebut nama cowok.”

“Oh, ya?”

“Kamu sebenarnya cinta beneran nggak, sih, sama aku? Tiap hari ngomongin cowok lain, kenapa nggak nikah sama mereka aja?”

Sudut bibir Kania berkedut, hidungnya juga begitu. “Kamu cemburu, ya?”

“Kamu itu istri aku, Kania.”

“Semua orang tahu itu, sayang….”

“Memang, semua orang tahu kalau kamu itu istrinya Arya Hermawan. Tapi kamu tahu, nggak? Hati aku sakit karena kamu kagum sama orang lain. Bukannya kamu yang dulunya cinta banget sama aku?”

“Mereka semua cuma idola, aku nggak cinta sama mereka.”

“Tetap aja aku cemburu. Setiap kali masuk ke kamar, ada banyak wajah yang aku lihat. Masih mending ada foto aku di sana, tapi ini nggak! Kamu mau balas dendam sama aku?”

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang