25. I'm Sad

36.1K 3.1K 125
                                    

💜Happy reading💜

***

Isak tangis terdengar dimana-mana. Orang-orang berkerumun di depan rumah. Empat laki-laki mengangkat keranda mayat di atas bahu. Hari itu pemakaman akan dilaksanakan.

Kania masih mencoba menguatkan kaki-kakinya, sejak semalam dia terus menangis. Tak memedulikan apapun lagi.

Awan juga tak kuasa menahan tangisnya. Langit harus menenangkannya meski hatinya juga terluka. Setidaknya ia lebih bisa mengontrol diri.

Bocah itu hanya tidak ingin menambah kesedihan.

Arthur beserta istrinya tiba dini hari. Arthur terus menemani Kania, memberinya kekuatan untuk menerima takdir. Kania yang paling terpukul akan kepergian Pak Danur.

“Ayah … Ayah … Ayah….” Kania terus memanggil lirih, Arthur menuntun jalannya. “Ayah, jangan tinggalin aku. Aku nggak mau....”

“Udah, sayang. Udah….” Arthur menyeka lembut air mata Kania. Dia kasihan melihat adiknya terus meraung. “Kamu harus tabah, kamu harus kuat.”

Kania menggeleng. “Ayah, Abang….”

“Iya, Abang tahu.”

“Ayah ninggalin kita, aku nggak mau, aku belum lakuin apa-apa buat Ayah. Ayah harus lihat aku nikah….”

Arthur mempererat dekapannya. Sadar bahwa kalimat apapun tak bisa menenangkan. Iapun membiarkan Kania meluapkan emosinya.

Pak Danur cukup membawa luka bagi orang yang mengenalnya. Dia lelaki yang ramah dan juga baik. Maka dari itu, semua anaknya memihak pada sang ayah daripada sang ibu. Kania yang paling dekat, sebab dialah satu-satunya perempuan. Kania juga banyak bicara dan bawel.

Banyak tetangga yang mengantar Pak Danur ke peristirahatan terakhir, salah satu diantaranya adalah Arya. Pria itu datang sendiri, memakai baju berlengan panjang berwarna putih. Sebuah peci menutupi rambutnya. Kehadirannya mengambil banyak perhatian. Sayangnya Kania tidak menyadari itu. Dia tidak tahu sama sekali jika Arya datang.

“Bapak?” Raju menepuk bahu Arya. “Bapak ke sini?”

“Iya.”

Raju mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki. Dia menggelengkan kepala lalu berdecak. Arya yang berdiri di hadapannya bisa menimbulkan peperangan! Arya tampak seperti seorang malaikat! Raju saja sampai terpesona. Bagaimana dengan Kania?

“Bapak sama siapa ke sini?” Raju menepuk kecil kepalanya untuk berhenti mengagumi. Dia kembali melangkah bersama para pelayat.

“Sendirian.”

“Zayn sama siapa?”

“Bi Ade.”

“Makasih karena Bapak udah mau datang.” Ekspresi wajah Raju berubah. Matanya menatap kosong ke jalanan. “Sejak semalam Kania nangis terus, kasihan banget, Pak.”

Arya menatap lurus, Kania beserta keluarganya berada di barisan paling depan. Agus ikut mengangkat keranda.

“Dia baik-baik aja, kan?”

“Kalau sekarang mungkin enggak, Pak. Tadi saya lihat dia udah kayak mau mati. Mukanya pucet banget, badannya gemetar semua. Bang Arthur panik banget lihat Kania. Kasihan….”

“Dia udah makan?”

“Masalahnya itu juga, Pak. Kania nggak mau makan, nggak mau diganggu. Saya aja tadi nggak disapa. Dia bener-bener terpukul.”

Arya menarik napas panjang, dadanya dipenuhi sesak. “Kania pasti sayang banget sama ayahnya.”

“Itu udah pasti, Pak.”

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang