18. Pusing

36.6K 3.3K 57
                                    

💜Happy reading💜

***

Kania bergegas setelah mata kuliahnya berakhir. Dia mendapat keringanan dari Arya, mengingat statusnya sebagai mahasiswi.

Di hari sabtu Kania biasanya pulang di sore hari. Waktunya bersama Citra dan Tiara tidak sebebas dulu. Kedua cewek penggosip itu kadang bertanya-tanya, mereka seringkali mengajukan pertanyaan.

Seperti….

“Kania! Kamu kerja jadi petugas medis, ya? Kenapa susah banget ngumpul bareng kita?”

“Aku tahu dunia ini lagi dilanda masalah, tapi kamu jangan nambah masalah juga! Kami butuh kamu, Kania! Nggak ada yang lebih gila daripada kamu di grup kita!”

Sampai saat ini, Kania belum membeberkan rahasia terbesarnya. Dia tidak mau adanya gangguan, sudah cukup dengan tekanan yang diberikan Arya. Ia tidak mau Citra dan Tiara kepo dengan pekerjaannya sekarang. Bisa-bisa mereka membuat kegaduhan dan berbuat gila!

Kania menggantung almamaternya di sandaran kursi. Fokusnya teralihkan melihat Zayn sendirian tanpa pengawasan Bi Ade. Tumben sekali ia mendapati pemandangan seperti itu.

Wajah yang tadinya kusut perlahan sirna. Kania ikut duduk di karpet bulu sembari memandangi Zayn yang memainkan tangannya.

“Kenapa Zayn sendirian, sayang?” Kania meraup tubuh gembil itu, menciumi kedua pipinya. Tiap kali melihat Zayn, tumbuh rasa ingin memiliki bayi. Sayangnya, itu mustahil dilakukan tanpa peran seorang suami.

"Zayn mau punya ibu baru, nggak?"

Sebelum Kania bertanya lagi, gemericik air membuatnya termenung. Ia pun meletakkan Zayn ke tempat semula. Kemudian mengendap-endap ke depan pintu kamar mandi.

Ada siapa, ya? Nggak mungkin Pak Arya, jam segini dia belum pulang. Kania membatin sembari menempelkan telinganya di pintu.

Kania melirik Zayn dan memberi isyarat diam. Bayi itu malah tersenyum tipis.

Mungkin Bi Ade kali, ya? Atau jangan-jangan....

Pikiran negatif mendadak sirna tatkala pintu terbuka. Kania belum sempat memperbaiki posisinya, alhasil dia jatuh ke depan. Ia menimpa dada bidang yang tak lain adalah Arya.

“Ma-maf, Pak! Saya sengaja!” Kania menggelengkan kepalanya berulang kali. “Maksud saya, nggak sengaja! Saya beneran nggak sengaja, Pak. Saya pikir bukan Bapak yang ada di dalam, saya pikir orang lain.”

Arya tidak menjawab apa-apa, dia langsung menghampiri Zayn. Kelakuan Kania memang tidak terduga, bukan? Dia sudah biasa. Lebih tepatnya mencoba terbiasa.

Kania menghampiri, bertanya ragu. “Hm … kenapa Bapak bisa di sini?”

“Ini rumah saya,” jawab Arya seadanya.

“Maksud saya … jam segini biasanya Bapak masih di kantor. Tumben pulang cepat.”

“Saya lagi kangen sama Zayn, jadi saya putusin buat pulang. Saya juga agak capek habis rapat tadi.”

“Oh….”

Kania bersandar di lemari, memeluk kedua lutut. Ia tampak kuyu, tak dianggap. Arya dan Zayn asyik bermain tanpa memerhatikan makhluk seperti dirinya.

Waktu terus berputar, merasa semua terbuang percuma, Kania menyempatkan diri untuk memenuhi kebutuhan rohaninya. Mungkin hal itu akan membuatnya semakin terjebak dan tak bisa move on. Namun tak ada hal lagi yang bisa mengusir kegabutannya.

Jadilah, Kania memandangi Arya diam-diam. Bertopang dagu. Tersenyum tipis.

Indahnya makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini....

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang