7. Sial?

45.8K 3.9K 93
                                    

💜Happy reading💜

***

Tepat jam sepuluh Kania pamit.

Berbeda dengan malam sebelumnya, Kania diantar Arya, naik mobil. Ia mencubit pipi kiri berulang-ulang, ada rasa sakit di sana. Itu artinya dia tidak bermimpi.

Arya fokus menyetir, mata sipitnya tidak pernah beralih dari jalan. Dia tidak terlalu memedulikan apa yang tengah dilakukan Kania, ia tidak boleh berlama-lama, takutnya Bi Ade tidak bisa menenangkan Zayn ketika terbangun.

Mobil melintasi jalan sepi, Kania bergidik ngeri mengingat peristiwa kemarin. Dimana telapak kakinya lecet karena terlalu lama berjalan. Dia juga sangat merindukan sepatu pemberian Agus, sepupunya.

“Rumah kamu dekat mana?” Arya tidak menoleh sedikitpun.

“Hm … dekat apa, ya?” Kania refleks saja berbicara seperti itu. Tempat tinggalnya dikelilingi rumah, tetapi tidak saling berdempetan.

“Dekat apa?” Suara Arya terdengar tajam, setajam tatapannya.

“Dekat rumah tetangga.” Kania mendengus, dia belum sempat berpikir akan letak rumahnya, Arya malah membuatnya merasa terimintidasi.

“Dengar, saya nggak bisa lama-lama. Kamu tahu sendiri Zayn gimana. Jangan ngulur waktu, bilang sekarang!”

Kania menatap jalanan. “Masih jauh. Tukang sate di lampu merah belum kelihatan.”

“Rumah kamu dekat situ?”

“Masih jauh lagi.”

Arya meremas setir. Wajahnya sama sekali tidak bersahabat yang mana itu menciptakan atmosfer panas. Kania mencibir kesal, melipat tangan di dada. Dia paham akan perubahan di sekitarnya.

“Kalau Bapak nggak ikhlas antarin saya pulang, saya bisa naik ojek, kok.” Kania membuka setengah kaca mobil, membiarkan angin masuk untuk meredam kegerahan.

“Kapan saya bilang kalau nggak ikhlas?”

“Aduh, Pak. Saya itu nggak bego. Saya jelas tahu kalau Bapak itu kesel karena letak rumah saya jauh. Lagian, kenapa saya harus diantar pulang, sih? Kemarin waktu saya dipecat dibiarin jalan sendiri, tuh!”

Kecepatan melambat. Tangan kiri menepuk bahu Kania untuk bertatapan. Arya berkata, “Maksud kamu apa? Kamu nggak suka saya antar pulang? Kamu lebih suka jalan sendiri? Kamu nggak hargain waktu yang saya beri sama kamu?”

“Saya akan berterimakasih banget kalau Bapak ikhlas antar saya pulang, nggak usah misuh-misuh. Kelihatan jelas, Pak. Saya jadi nggak enak.”

Mulut Arya tertutup rapat. Tidak tahu harus menjawab apa. Jujur, Kania menohoknya tepat sasaran. Arya memang sedikit kesal sebab kediaman Kania tidak sesuai perkiraannya. Ada Zayn yang membutuhkannya di rumah sakit.

“Kalau tahu kayak gini, mending saya suruh Raju tungguin saya sampai selesai. Dia pasti nggak keberatan.” Kania masih dipendam emosi. Entah keberanian darimana. Mungkin faktor kelelahan.

Sepanjang perjalanan tak ada yang bersuara. Arya setia menyetir hingga penampakan tukang sate muncul, setelahnya ia tidak tahu harus kemana lagi, dia agak sungkan bertanya pada Kania.

Jadilah, Arya menyetir tanpa tujuan. Gila, bukan?

Merasa cukup jauh, Arya tidak kuasa lagi. Dia harus bertanya sebelum waktunya habis percuma.

“Rumah kamu udah dekat?”

Kania melirik sebentar. “Dikit lagi.”

Arya menarik napas panjang. Mengecek jam di lengan kirinya. Sudah lewat tiga puluh menit. Arya pun tergesa menelpon Bi Ade.

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang