5. Kembali?

46.3K 3.8K 39
                                    

💜Happy reading💜

Jangan kendurkan senyum manismu

***

Berhubung Kania kuliah di hari sabtu dan minggu, maka hari ini dia masih sempat berleha-leha. Tiduran di sofa sambil merenung. Sepatunya yang hilang sempat menciptakan tekanan batin, Kania cukup menyayangi sepatu itu karena pemberian dari seseorang yang spesial.

"Kamu kenapa? Bengong terus dari tadi." Arthur muncul membawa semangkuk mi, nafsu makannya membaik. Perceraian orangtuanya sudah setengah menguap.

"Abang...."

"Hm?"

"Sepatu pemberian Agus hilang, Bang."

"Terus?"

Kania bangkit, mengambil alih makanan Arthur. "Sedihlah, Bang! Ini semua salah Abang! Kenapa susah dihubungi malam itu?"

"Enak aja!" Arthur merampas mangkuk minya kembali. "Kamu kenapa jadi bawa-bawa Abang? Itu salah kamu sendiri. Sepatunya dihilangin sendiri, malah nyalahin orang lain. Aneh!"

Kania makin putus asa. Selain sepatu, dompet kesayangannya juga masih dalam pencarian. Kania sudah mengobrak-abrik isi lemari. Siapa tahu ada keajaiban yang terjadi, dimana dompet itu terselip di antara pakaian.

Namun itu hanyalah perbuatan yang sia-sia. Kania yakin bahwa dompetnya jatuh di luar sana, sendirian, kedinginan. Tidak mungkin dompetnya ada di rumah, apalagi di dalam lemari.

"Abang...." Kania masih merengek.

"Apa, sih?" Arthur menjauh sedikit.

"Ih! Abang itu kenapa? Ini adeknya lagi mau curhat, cuek banget!"

"Apa, apa?"

"Abang, cariin aku pekerjaan dong."

"Kamu mau kerja juga? Kan Abang udah kerja."

Arthur berprofesi sebagai guru di SMA 20, Jakarta. Karena libur semester, Arthur pulang kampung. Istrinya tidak bisa ikut karena tuntutan pekerjaan.

Dulunya mereka semua tinggal di Jakarta sebelum Arthur menikah, tetapi karena masalah keluarga, mereka terpaksa pindah ke Tangerang.

Kania cukup tidak rela meninggalkan teman sepermainan. Pasti Yuna merindukannya.

"Tapi itu beda, Bang! Aku juga mau cari duit. Pengeluaran makin hari makin meningkat. Belum lagi sama uang sekolah si kembar. Aku, tuh, kuliah, Bang! Mana cukup kalau Abang sendiri yang kerja, Abang juga harus biayain istri Abang sendiri. Mana cukup!"

"Emang kamu mau kerja apaan?"

Kania mengerjap. "Di tempat Agus udah nggak ada lowongan? Restorannya nggak butuh pelayan, gitu?"

"Nggak ada, Dek. Kalau pun ada, dia pasti ngabarin Abang."

Kania makin merana. Uangnya tidak cukup banyak. Belum lagi untuk membeli keperluan rohaninya—poster cowok-cowok kece, yang tak lain adalah pria dewasa, perut kotak-kotak.

Mulai sekarang Kania harus menabung untuk uang kuliahnya juga, tidak mungkin terus mengandalkan Arthur. Kania tidak mau merepotkan siapa pun. Kania mau mandiri karena dalam kamus kehidupannya tak ada kata bergantung pada orang lain selama dia masih sanggup.

"Abang," panggil Kania lagi.

"Apa lagi?"

"Masa Abang nggak bisa usahin adek cantik ini? Masa nggak ada satu pun kerjaan yang terlintas di pikiran Abang?"

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang