28. Permohonan

36.3K 3.1K 181
                                    

💜Happy reading💜

***

Jam menunjukkan pukul enam lewat empat puluh lima pagi. Seharusnya Kania sudah ada di sana, mengasuh Zayn seperti kemarin-kemarin. Tetapi cewek itu belum pernah menampakkan diri sejak ayahnya meninggal. Arya merasa ada yang berbeda dengan hari-harinya.

Setelah berpakaian, Arya masuk ke kamar Zayn. Bayi kecilnya masih tertidur pulas di dalam boks bayi.

“Anak Papa….” Arya mengelus pipi Zayn dan juga membelai rambutnya. Tiba-tiba teringat dengan Kania. Betapa cewek itu berperan penting dalam hidupnya. Tanpa Kania, ia akan kelimpungan mengurus si kecil.

“Nak, Papa kenapa jadi keingat terus sama pengasuh kamu, ya? Papa agak rindu sama dia.” Arya menarik napas gusar, tak pernah menyangka bahwa rindu akan melanda.

“Pak….” Bi Ade mengetuk pintu sekali, dia tidak sendirian. Di belakangnya ada Kania. “Kania mau ketemu sama Bapak.”

“Kania? Kamu datang?” Arya terlampau senang sampai ekspresinya membuat Kania mengernyit. Senyumnya terlalu lebar.

“Iya, Pak. Saya ke sini karena mau ngomong sama Bapak. Ini penting.”

Merasa bukan bagian dari percakapan, Bi Ade pun pamit. Arya mengajak Kania untuk mengobrol di balkon. Udara pagi membuat keduanya rileks.

“Pak….” Suara Kania agak bergetar. Air mukanya mengeruh. Tidak jauh berbeda saat hari pemakaman. Arya dibuat berpikir keras lagi. Setahunya, semua sudah baik-baik saja.

“Kamu kenapa? Kok murung?”

“Saya ke sini bukan buat kerja, Pak. Tapi saya ke sini karena disuruh Bang Arthur.”

“Apa? Dia bilang apa?”

“Pak,” panggil Kania pelan. “Besok … saya nggak bisa kerja lagi sama Bapak.”

“….”

“Bang Arthur maunya saya ikut ke Jakarta.”

“Ma-maksud kamu….”

“Iya. Saya mau pindah ke Jakarta. Itu artinya saya nggak bisa kerja lagi di sini.” Kepala Kania menunduk dalam. “Maaf, Pak. Saya langgar kontraknya.”

Arya terlalu kaget untuk memberikan pendapat. Dia tidak pernah berpikir tentang itu. Bahkan untuk di dalam mimpi.

Dengan tangan yang gemetar, Kania meraih tangan Arya. Kali ini cukup berani. “Saya minta maaf karena saya banyak salah, saya sering buat Bapak marah. Saya juga kerjanya nggak becus, saya juga kadang godain Bapak. Saya minta maaf, maaf karena sampai sekarang ini saya masih suka sama Bapak. Soalnya susah! Bapak itu ganteng, tipe saya banget.”

“Kania….”

“Pak….” Kania melangkah, kepalanya mendongak. “Saya harus gimana biar bisa lupa sama Bapak? Saya nggak bisa buat lupa. Mungkin kemarin saya bilang mau usaha pindahin cinta saya ke orang lain, tapi saya sadar kalau itu sia-sia.”

Arya tak mampu menjawab. Jantungnya sedang menggila. Setiap kata yang didengarnya menambah kecepatan aliran darah. Arya speechless dengan semuanya.

“Saya sayang banget sama Zayn, sama bapaknya juga. Kalau saya di sini, rasanya saya lagi simulasi buat jadi istri Bapak. Saya seneng banget. Tiap hari ketemu sama Bapak, saya beruntung banget, lho.” Kania mencoba tersenyum. “Tapi … saya harus pergi, Pak. Bang Arthur nggak biarin saya di sini. Dan….”

Kania melepaskan genggaman tangannya. Lagi-lagi menunduk, tangan kanannya menghambat jatuhnya air mata. Kania benar-benar sedih. Jika boleh, dia ingin menghambur ke pelukan Arya. Sayangnya ia tak mau cari masalah di hari terakhirnya.

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang