17. Patah

36.5K 3.2K 195
                                    

💜Happy reading💜

***

Malam itu Kania dijemput Agus.

Arya mengintip dari atas kamar, mengamati interaksi keduanya. Matanya memicing untuk melihat lebih jelas. Setelah beberapa saat, ia berpaling cepat. Sadar perbuatannya kurang pantas. Untuk apa dia melakukan itu?

Kania dan Agus sangat akrab, mereka kadang saling memeluk, kadang saling mencium—tentunya di pipi. Dibanding Arthur, Agus lebih berperan penting dalam memberikan perhatian. Berbeda dengan kakak kandung yang tidak seluwes itu.

“Emang Abang mau ngasih barang apa, sih?” Kania berpegangan pada pinggang Agus, dagunya hampir bersandar di pundak cowok itu.

“Nanti kamu tahu, yang pastinya penting banget.”

Motor melaju cepat, angin malam menusuk kulit. Kania menggigil kecil, dia mencari kehangatan dengan memeluk Agus.

“Kamu dingin, ya?” tanya Agus lalu melambatkan laju motor.

“Dikit, Bang.”

Agus mengusap punggung tangan Kania, menyelimutinya agar tetap hangat. Siapa pun yang melihatnya pasti salah sangka. Mereka terlihat seperti sepasang kekasih.

Agus memarkirkan motor di depan rumah. Benar-benar rumahnya. Di usia muda ini dia sudah mampu membeli rumah yang terbilang cukup besar. Dia pandai berbisnis, maka tak heran ia memiliki banyak uang.

Rumah bercatkan abu-abu itu memiliki pekarangan yang luas. Sejauh mata memandang, rumput hijau yang mendominasi. Dirawat baik. Di sebelah kanan, terdapat bunga mawar putih, seolah menyapa orang yang datang.

Kania selalu takjub!

Tempat favoritnya adalah belakang rumah. Dia senang sekali memasukkan kaki ke kolam renang. Bermain air sampai kulitnya mengeriput.

“Mbok Siti mana, Bang?” Kania mengedarkan pandangan. Biasanya ia disambut hangat. 

Agus mengambil minuman di kulkas, menuangkan soda ke dalam gelas. “Mbok Siti lagi istirahat, dia kurang enak badan.”

Kania manggut-manggut. Satu gelas soda mengalir di tenggorokannya. Wajahnya berubah kecut.

Satu-satunya asisten di rumah itu adalah Mbok Siti, wanita berumur empat puluh tahun. Dia dan suaminya tinggal bersama di rumah Agus. Suaminya yang bernama Mas Dodi bekerja sebagai satpam. Keduanya tidak dikaruniai seorang anak.

“Ayo naik ke atas.” Agus menarik tangan Kania naik ke lantai dua. Tepatnya ke kamar.

Untuk ukuran seorang laki-laki, Agus sangat bersih. Buku-buku pelajaran tersusun rapi tanpa debu. Tak ada pakaian yang menggantung. Apalagi penampakan handuk basah di kasur.

Big No! Dia salah satu laki-laki yang baik dipersuami!

Bahkan kamarnya beraroma segar. Aroma jeruk.

“Nyaman banget tidur di sini.” Kania menjatuhkan tubuhnya di kasur, memeluk guling yang paling besar.

“Kamu tidur aja di sini.” Agus melakukan hal yang sama. Posisi mereka berhadapan.

“Mana bisa, Bang. Ayah siapa yang mau jagain?”

“Kan ada Langit sama Awan.”

“Mereka masih kecil.”

Agus menarik tubuh Kania lebih dekat. Membelai sayang di pipi kiri. Perhatian berlebihan itulah yang menciptakan benih cinta.

Kania makin yakin dengan pendiriannya, cintanya untuk Arya akan disumbangkan kepada Agus. Semuanya.

“Abang mau ngasih barang apa?”

The Papa Hunter [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang