Tigabelas

2.8K 337 6
                                    

- Happy Reading -

"Matsuri, keluar saja dari rumah terkutuk itu. Kau bisa tinggal disini denganku."

Hinata sedang merayu Matsuri agar bersedia keluar dari rumah Hyuuga yang penuh kotoran.
Jika Hinata bisa membawa Matsuri pergi darisana, akan mudah baginya untuk membuat gadis itu melanjutkan hidupnya.
Hinata sudah merasa sangat berdosa selama ini, dan sekarang sedang berusaha menebus dosanya.

"Hinata, kau tidak ingat apa pesan ibumu ? Jaga ayahmu, Hinata." Matsuri mengatakannya dengan wajah serius.

Hinata hanya mendengus remeh, berdecak tak senang saat Matsuri mengungkit sesuatu yang emosional tentang ayahnya atau keluarganya yang lain.
Seharusnya gadis itu tau lebih baik, jika Hinata seringkali gamang jika dihadapkan pada situasi emosional menyangkut keluarganya.

"Dia bahkan tidak pernah melindungiku. Tidak pernah menjagaku juga."

Mengatakannya dengan wajah acuh yang menyiratkan sesuatu yang lain, Matsuri cukup pintar untuk tidak tertipu pada wajah berekspresi dingin yang nyatanya menyimpan getir.

"Terserahmu saja. Kau tidak akan pernah menyadarinya, selama kau masih menutup mata."

Hinata tidak mau mendengarkan apapun yang dikatakan Matsuri, meskipun gadis itu akan menjelaskan sampai mulutnya berbusa mengenai sesuatu tak masuk akal yang katanya adalah sebuah kebenaran, Hinata tidak akan mempercayainya.
Sampai selama ini, Hinata tidak pernah percaya jika ada yang mengatakan bahwa Hyuuga Hiashi sangat menyayanginya dan selalu membanggakan Hinata pada semua orang yang ditemuinya.
Bagi Hinata pribadi, itu hanyalah omong kosong.
Jika ayahnya melakukan itu jauh sebelum hari ini, Hinata pasti akan merasa sangat tersanjung.
Tapi sekarang, ia tidak merasakan apapun, hanya dingin.

"Ngomong-ngomong, bagaimana kalian bisa jadian ? Apa tuan Uchiha itu yang menyukaimu terlebih dulu ? Atau dirimu ?"

Matsuri memindahkan pokok pembicaraan ke ranah yang membuat Hinata mengalihkan pandangan dengan wajah merona yang ditahan-tahan.

"Diamlah. Jangan membahasnya."

Bersikap acuh meski wajahnya jelas merona, Matsuri hanya bisa menertawai Hinata dan moment romansanya yang menyenangkan untuk dijadikan bahan godaan yang pastinya membuat Hinata kesal.

Matsuri bisa menangkap dengan jelas, bagaimana seorang Uchiha Sasuke yang berusaha mendekati nona mudanya, mencoba meluluhkan hati sekeras batu yang dingin itu.
Jujur saja, senang melihat Hinata yang mulai membuka diri pada sekitarnya, membuka hatinya pada seorang lelaki lebih tepatnya.
Meski tidak mau mengakui, tatapan dan rona wajah Hinata yang jujur tidak bisa menyembunyikan bagaimana perasaannya pada bungsu Uchiha itu.
Anggap saja jika Sasuke berpeluang besar memenangkan hati Hinata.

"Aku harus pulang sekarang. Jaga dirimu, Hinata. Jangan berbuat bodoh tanpa membicarakannya denganku."

Memeluk Hinata dengan erat, merasa berat saat harus meninggalkannya sendiri dalam keadaan ini.
Matsuri harus segera kembali ke rumah Hyuuga, agar tidak ada yang curiga mengenai keterlibatannya yang sangat besar pada rencana Hinata.

"Hmmm, jaga dirimu, Matsuri." Melepasnya dengan enggan, tersenyum singkat saat mengantar kepergian Matsuri sampai depan pintu apartemennya.

Mereka sudah menyiapkan rencana yang cukup matang untuk menjatuhkan duo Haruno yang bersembunyi di rumahnya.
Meski Hinata jarang turun tangan langsung untuk mengeksekusi lawannya, ia mempunyai kemampuan besar untuk menyusun rencana yang kadang kali rusuh karena kecerobohannya.
Keberadaan Sehun dan Sasuke adalah pion tambahan yang cukup membantunya, meski kedua lelaki itu masih tidak bisa akrab seperti teman biasa.

Neji yang bertanggung jawab tentang pengadilan, dibantu Matsuri yang bisa menjadi saksi kunci untuk mereka.
Hinata hanya mendapat sedikit bagian untuk mengumpulkan bukti lengkap yang bisa dengan mudah didapatkannya.
Inilah gunanya koneksi, Hinata bisa mendapatkannya dengan cepat dan tanpa halangan.
Hanya perlu menunggu sebentar lagi untuk melanjutkan pembalasannya, bukan hanya untuknya, tapi juga untuk ibunya.

Hinata bukan tipe pendendam, ia hanya berusaha membuka kebenaran.
Kebenaran tentang siapa sebenarnya dua iblis betina yang coba pansos pada keluarganya, sampai membuat hubungan orangtuanya berantakan.
Jika terus diam dan teraniaya, Hinata akan kalah selamanya, tidak akan bisa melanjutkan hidupnya.
Maka dari itu ia bertindak, agar bisa menyembuhkannya, agar dirinya menjadi lebih baik.

...

"Minumlah," Uchiha Sasuke menyerahkan secangkir kopi hangat pada Hinata yang terlihat lelah dengan pekerjaannya.
Wajah stress penuh tekanan itu menumpuk dengan jelas, beban pikiran dan beban kerjanya juga tidak kunjung berkurang.

"Terimakasih," menerimanya dengan senang hati, kafein adalah teman hidup yang membuatnya tetap waras sampai sekarang, setelah red wine tentu saja.

"Apalagi yang kau pikirkan ?"

"Tidak ada." Menyahut ringan dengan wajah datar.
Apa Hinata benar-benar tidak berperikemanusiaan ??

Sasuke mendengus remeh, menyentuh dagu lancip Hinata dan mendongakkan sedikit agar bisa bertatapan dengannya.
Hanya sedikit jarak yang tersisa diantara mereka, dan jarak itu di kikis dengan Sasuke yang mendekatkan wajahnya, mencium lembut pada bibir Hinata yang sedikit terbuka.
Memagutnya hati-hati, dengan jari telunjuk mengusap pelan rahangnya, memberi kenyamanan pada Hinata hingga tanpa sadar memejamkan matanya.

Ciuman Sasuke bukan jenis ciuman penuh hasrat yang menuntut untuk memenuhi gairahnya.
Ciumannya terasa sangat lembut, sangat hangat dan begitu berhati-hati, menenangkan Hinata dengan perasaan penuh yang tersalur lewat sebentuk bibir dengan rasa luar biasa yang selalu bisa membuatnya kelabakan dalam mengatasi perasaannya.

"Katakan padaku," Sasuke tidak mengalihkan pandangannya, menuntut jawabannya.

"Aku .. aku hanya ragu. Aku ..." Hinata bahkan kesulitan meneruskan kalimatnya.
Ia hanya ingin mengatakan, jika tidak mau lagi tersakiti oleh sesuatu bernama cinta yang digaungkan Sasuke lewat bermacam tingkahnya.

"Sssttt... Hinata, lihatlah aku. Lihat baik-baik. Apa kau pikir, aku akan menyakitimu ? Lupakan Naruto, dan lihatlah aku."

Sasuke mengatakannya dengan sangat tulus, berusaha keras memastikan Hinata agar mengerti tentang perasaannya.

Hinata tersudut dengan perasaan bersalah dalam dirinya, terutama saat melihat sorot mata yang penuh harap dalam pancaran hangat itu.
Sulit baginya untuk mengelak, jika Uchiha Sasuke memang serius dengan perkataannya.
Dan sulit bagi Hinata untuk menolak, jika dirinya sudah masuk dalam lubang tak berujung yang membuatnya dipenuhi kegamangan.

"Aku akan mencobanya." Putusnya dengan suara lirih.

Meski itu bukan hal yang ingin didengarnya, Sasuke merasa lega.
Mengecup ujung hidung mungil Hinata, tersenyum begitu manis diwajah jenius yang tampan itu.

"Aku tidak akan menyakitimu, aku sangat mencintaimu." Itu adalah janji yang diucapkan Sasuke dengan serius.

Hinata mengangguk, tersenyum ringan sambil mencoba mempercayai setiap kata yang diucapkan lelaki itu padanya.
Sasuke sudah lama memperjuangkannya, meski Hinata selalu menolaknya.
Jadi, apa salahnya jika sekarang ia mencoba jujur pada dirinya sendiri ?
Mengakui jika hatinya yang dingin perlahan menghangat karena semua hal yang dilakukan Sasuke sebagai bentuk atas usahanya.

Yamanaka Ino terkikik dengan wajah geli, mengintip di balik jendela yang sedikit terbuka di ruangan Hinata.
Rasanya ia ikut senang atas kejadian manis yang sangat bersejarah bagi comeback nya Hinata di dunia percintaan.
Intuisinya memang tidak pernah salah, saat pertama kali melihat Sasuke, Ino sudah yakin jika lelaki itu yang akan memenangkan hati Hinata.
Dan sekarang, memang terbukti.
Jadi, apakah Ino harus berhenti dari La Vien Ròse dan membuka klinik dukun di rumahnya ??
Berganti profesi, dari Perfumer ke Cenayang ?
Ide briliant yang patut dicoba.
.
.
.
Vote please ❤❤

PERFUMETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang