Sean POV
Melihatnya menggandeng pria lain di depan mataku, membuatku terbakar api cemburu. Ia milikku. Ingin rasanya kupatahkan tangan laki-laki yang berani memegang tubuhnya. Tapi apa hakku. Pria itu tunangannya. Dia lebih berhak akannya dari pada aku. Michele sudah melupakanku. Aku tidak lagi ada dalam hidupnya. Ia lebih memilih pria itu di banding aku. Pertunanganku dengan wanita lain pun tetap tidak membuatnya gusar. Ia tetap berani datang ke pesta pertunanganku. Ia bisa menegakkan kaki dan kepalanya di acara pertunanganku. Mungkin aku sudah tidak berarti lagi baginya. Hal itu mengusikku. Apakah aku begitu mudah untuk dilupakan.
Entah ia sengaja atau tidak, ia menggunakan gaun yang begitu seksi, menggoda kelelakianku. Ia tampak begitu mengagumkan dengan dress yang ia pakai. Begitu sensual. Dengan lekuk tubuh yang begitu tampak hingga membuat semua mata lelaki di tempat itu tertuju padanya. Ingin aku melepaskan gaun itu dan membawanya ke atas ranjangku. Kenapa kau mengujiku terlalu berat, Michele?
"Michele... Kenapa kau ada di sini?" Ketika aku melamunkan dan memikirkannya, aku melihat dia berada di sekitar pekarangan rumahku.
Ia masih mengenakan dress yang ia gunakan di pesta tadi. Riasan dan rambutnya masih tampak seperti semula. Hanya saja terlihat lebih sedikit berantakan. Ia berjalan tergopoh-gopoh. Apakah terjadi sesuatu? Atau ia mabuk? Ia mabuk? Seolah tak percaya. Ia bukan orang yang menenggelamkan diri dalam alkohol atau semacamnya.
Aku menghampirinya.
"Michele? Apa yang kau lakukan di luar?"
"Oh Sean. Apa aku bisa meminjam uangmu untuk membayar taksi? Aku meninggalkan dompetku entah di mana."
"Kau masuklah. Biar aku yang urus."
Aku kembali menghampirinya setelah mengurus masalah taksi. Ia betul-betul ke sini sendiri. Ia sempoyongan. Apakah aku harus menelepon kekasihnya untuk menjemput Michele? Dia yang datang kemari sendiri. Dengan keinginannya. Tanpa paksaan. Tapi seperti yang dia bilang di awal dia tidak membawa dompetnya. Dan memang dia terlihat tidak membawa apapun selain pakaian yang ia kenakan. Dan lagi aku tidak memiliki nomer telepon Chris. Untuk apa. Pikirku.
"Sean, perutku sakit dan kepalaku terasa berat. Bolehkah aku tidur di sini?"
"Oke. Aku akan bawamu ke atas untuk rebahan." Aku menuntunnya ke kamarku. "Aku akan membuatkan teh hangat untukmu."
"Iya. Terimakasih."
Beberapa menit kembali ke kamarku, Michele terlihat terlelap. Ia membaringkan tubuhnya dengan begitu nyaman. Meringkuk di atas ranjangku. Aku tidak tega untuk membangunkannya. Biarlah malam ini dia menginap di sini.
Ia lalu menggeliat. Melihat ke kiri-kanan mencariku.
"Kepalaku terasa berat sekali, Sean."
"Minumlah. Ini akan menghilangkan pusingnya." Aku mengulurkan cangkir berisi teh hangat. Ketika aku mendekatinya, namun ia malah menarikku ke atasnya. Hingga tubuhku menindih tubuhnya. Kulihat matanya berbinar menatapku. Wajahnya kemerahan. Ia mengangkat kepalanya lalu mencium bibirku. Oh damned! I wait for this. Kenapa kau mengujiku sekeras ini, Michele. Aku tidak dapat menahannya bila kau bertindak lebih jauh lagi. Ia memperdalam ciumannya.
Ia melingkarkan tangannya di leherku. Bibirnya terbuka untuk menciumku lagi. Ia membalikkan posisi tubuhnya. Ia berada di atasku sekarang. Ia mulai membuka bajunya yang terkena tumpahan teh.
"Michele, apa yang kau lakukan? kalau kau melepaskan bajumu. Aku tidak yakin aku bisa menahan lagi. Pakai bajumu. Kau pasti menyesal setelah kau sadar dengan apa yang kau lakukan."
"Bajuku terasa basah, Sean. Aku harus melepaskannya."
Ia melepaskan gaunnya hingga terjatuh ke atas lantai parket kamarku. Ia hanya menggunakan underwear-nya saja. Fuck! She's still this sexy. Tubuhnya tidak berubah sedikitpun. Masih seperti dulu. So, damned hot! Masih seperti Michele tiga tahun yang lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Sex(y) Doctor
RomansaWell, Sean Evans, the most handsome doctors on earth. Muda, tampan, kharismatik dan tentu saja berasal dari keluarga billionaire. Ayahnya adalah pemilik perusahan international yg bergerak dibidang penerbangan. Sementara, Michelle Abraham, seorang...