2.4.1 Gelombang dua rasa

25 6 5
                                    

Written by Dvnraa

Gadis dengan rambut sebahu itu menaikkan alisnya sebelah ketika sedang serius membaca novel di perpustakaan. Ia sengaja memilih tempat itu karena tempatnya sepi dan tenang. Ia menghela nafas sebentar ketika menyelesaikan halaman terakhir novelnya.

"Open ending lagi," gumamnya pelan.

Entah kenapa semua novel yang ia beli akhir-akhir ini kebanyakan berakhir dengan open ending, itu artinya kita bisa menebak sendiri endingnya akan seperti apa, 'kan?

Gadis itu benci jika harus menerka-nerka, apalagi harus menerka akan seperti apa ending cerita hidupnya dengan seseorang yang dekat namun jauh, sejauh palung samudra.

"Belum masuk ke kelas, Mbun?" Gadis itu tersentak kaget lalu menutup novelnya dengan cepat untuk menghadap orang yang memanggilnya.

"Belum, Sam. Ini bentar lagi mau ke kelas."

"Yaudah, bareng aja yuk?" Embun mengangguk lalu berjalan keluar perpustakaan diikuti Samudra.

Mereka berdua sudah berteman sejak duduk di bangku sekolah menengah pertama, kemudian Samudra pergi untuk 2 tahun di negeri orang karena mengikuti kemauan orang tuanya.

Kau tahu semesta? Hukum alam itu terjadi pada Embun, bahwasannya persahabatan antar lawan jenis tidak selalu berjalan lancar. Ada kalanya salah satu di antara keduanya yang memendam rasa. Dan itu yang Embun rasakan saat itu.

Ia sadar, ia terlalu jauh menyelami samudra. Ketika airnya surut, ia justru rindu pada deburan ombak yang selalu memecah keheningan. Tapi, setidaknya kini ia dapat melihatnya lagi. Walau sepertinya hanya ia yang memendam gelombang rasa ketika deburan ombak kembali menerjang tepi hatinya.

"Bagaimana, kamu bisa datang besok malam?" Ucap Embun berharap.

"Tentu saja. Aku mau melihat si ratu puitis di atas panggung."

"Lebay. Aku tidak sepuitis itu."

"Iyadeh iya." Samudra mengusap ujung kepala Embun seperti biasa.

Ingin sekali Embun mengadu pada kotawisata bahwa penghuninya yang bernama Samudra telah membangkitkan sejuta hertz getaran gelombang di dalam hatinya. Hukum saja dia, setidaknya agar dia bisa merasakan bagaimana memendam rasa sendirian.

"Janji ya akan datang?" Embun menyodorkan jari kelingkingnya pada Samudra, yang akhirnya di balas oleh pemuda itu.

"Janji, Embunku," balas Samudra sambil tersenyum.

Sepertinya Samudra memang sengaja membuat pusaran di tengah lautan agar Embun tertarik dan hanyut dalam palung terdalam.

"Yaudah sana, sebentar lagi bel masuk berbunyi."

Sedangkan pemuda itu masih setia berdiri di depan kelas Embun lalu tersadar.

"Oke deh. Aku duluan ya," katanya sambil berjalan mundur. Embun hanya menganggukkan kepalanya.

Baru saja ia mengeluarkan buku Fisika, sebuah flashdisk menggantung di depan matanya. Ia mendongak untuk melihat siapa pemilik tangan itu.

"Ini, makasih ya flashdisk nya," orang itu tersenyum sambil menaruh benda itu di hadapan Embun.

"Oh, oke. Sudah selesai memang?"

"Sudah. Semua instrumen sudah aku masukin. Jadi nggak ribet saat kamu tampil nanti."

"Makasih ya, Angkasa." kini giliran Embun yang menampilkan senyuman indahnya. Membuat orang di depannya terpaku.

"Embun!" Yang di panggil menoleh kearah sumber suara.

monthly eventTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang