2.8 Birthday girl

31 5 5
                                    

Written by inqueensitor

Kekhawatiran terbesar dalam hidup gue adalah enggak pernah ngerasain yang namanya pacaran di umur belasan.
— Raya Kartika

Sementara Raya takut pada suara petasan yang sering terdengar menyalak bersahut-sahutan di malam pergantian tahun, Tirta justru takut pada lengkingan suara Raya yang ada di belakangnya saat dia sedang mengendarai motornya seperti saat ini. Pasalnya, Raya tidak pernah ragu untuk meneriakkan apa saja yang ada di otaknya. Memang bagus sih—karena terkesan terus terang, tetapi tentunya tidak sebagus itu untuk diteriakkan pada saat Tirta fokus menyetir dan menyelami jalan raya yang ramai malam ini.

Akhir tahun 2019 semakin dekat dan terus mendekat dalam hitungan jam. Malam ini, Jakarta ramai bukan main. Seperti tahun-tahun sebelumnya, beberapa titik strategis selalu menjadi objek sasaran warga untuk sekadar menyaksikan malam pergantian tahun bersama dengan keluarga. Tahun-tahun sebelumnya juga begitu bagi Raya.

Namun, malam ini—bersama Tirta, Raya ingin melakukan sesuatu yang berbeda.

“Tirta buruan! Gue nggak mau telat ketemu Saka di pertemuan pertama.”

Tirta mendengus kesal sambil menarik gas motornya semakin dalam. “Ini bukan pengalaman pertama lo, Ray! Sebelum-sebelumnya juga lo udah pernah blind date begini,” seru Tirta, mencoba mengalahkan kerasnya suara angin malam yang menerpa, “dan kegagalan blind date lo itu bukan di pertemuan pertama, tapi setelah berjalan beberapa lama.”

“Tapi, Tir—”

“Itu artinya, mereka emang nggak cocok aja sama lo.”

Menjadi cowok yang selalu mengantar Raya ke mana-mana dan selalu ada di saat Raya butuh bantuan membuat Tirta memahami seluk-beluk kehidupan Raya. Jangankan sekadar membelikan obat ketika Raya sakit, mengantar cewek itu kencan buta berkali-kali juga tetap Tirta jalani. Sudah banyak tempat yang Tirta tuju, banyak cowok kenalan Raya yang Tirta temui, dan banyak cerita yang Tirta terima dari Raya karena kencan buta gila Raya. Semua kegagalan kencan buta Raya selalu Tirta hadapi dengan senyum canggung—bingung antara harus ikut bersedih serta dengan Raya atau harus bahagia karena dia jadi punya kesempatan baru.

Apa lagi kalau bukan karena Tirta suka Raya?

Pertemanan Tirta-Raya yang sudah berjalan selama delapan tahun itu bikin mereka merasa nyaman satu sama lain. Namun, yang namanya hubungan persahabatan antara cowok dan cewek, mana ada yang murni dan bersih dari perasaan aneh yang tumbuh. Tirta sih sudah sadar kalau dia suka Raya sejak beberapa tahun terakhir, bahkan dia pernah menyatakan perasaannya pada Raya. Sayangnya, Raya menganggap Tirta hanya bercanda sehingga Tirta tidak lagi mencoba untuk mengungkapkan perasaannya lagi.

“Ini malam terakhir gue di umur sembilan belas, Tir! Gue kepingin punya pacar sebelum gue menginjak dua puluh tahun di beberapa jam ke depan,” katanya. “Pokoknya, gue harus bisa jadian sama Saka apapun caranya.”

Tirta mendadak meringis tanda miris. Entah sudah berapa kali dia mengantar Raya kencan buta, tetapi semuanya hanya bertahan di pertemuan pertama. Dalam hitungan seminggu ke depan, biasanya Tirta akan mendapatkan kabar kegagalan pedekate Raya yang tak berujung pada hubungan yang pasti. Di saat-saat itulah Tirta mengalami denial thought antara harus bahagia karena egois atau bersedih karena simpati.

“Kenapa sih, ngebet banget sama Saka?”
Ada diam beberapa detik sebelum Raya menjawab, “Saka itu keren, pintar, jago musik, jago basket, dan yang jelas dia tipe ideal gue banget, Tir.”

Mengabaikan jawaban Raya yang entah didengarkan dengan baik-baik atau tidak, Tirta pun menepikan motornya ke pinggir jalan. Dia mematikan mesin motornya dan menyuruh Raya untuk turun. Tingkah Tirta barusan itu tentu bikin Raya mencak-mencak di hadapan Tirta karena dia akan semakin terlambat kalau Tirta berhenti begini.

monthly eventTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang