ALFIAN : Part 31

5.2K 271 31
                                    

Part 31

Pagi ini, tepat pukul 6.20 menit. Alfian terbangun dari tidurnya dengan keadaan masih mengantuk dan menatap Milla yang masih dengan posisi sama, tidak berubah seinci pun.

Alfian mendengar langkah kaki seseorang yang hendak masuk ke ruangan itu. Ia menoleh ke arah pintu, memastikan seorang yang datang dari balik pintu. Matanya mengerjap ketika melihat mamanya datang membawa paper bag di tangannya.

"Mama." Alfian juga melihat ada Julian yang datang bersama Mamanya.

"Mama ke sini bareng Julian." Wanita itu masuk menghampiri Alfian, dan Julian mengiringi di belakang dengan berpakaian seragam rapi.

"Nih, buruan beres-beres, ntar kamu telat berangkat ke sekolah Al," kata mamanya sembari mengulurkan paper bag kearah Alfian.

"Aku gak bisa ninggalin Milla Ma," ujar Alfian pelan.

"Terus lo mau sampai kapan gak masuk sekolah?" Julian mengangkat alisnya naik ke atas.

"Biar Mama yang jagain Milla Al, kamu sekolah aja. Nanti pulang sekolah kamu ke sini lagi," terang Mama Alfian seraya meletakkan tangannya di kepala Alfian.

"Aku takut Kak Vino nyakitin Milla lagi Ma."

"Mama akan jaga Milla dari kakak kamu, jadi kamu bisa berangkat ke sekolah dengan tenang. Kamu percayakan sama Mama?"

Alfian mengangguk patuh. Lalu mengambil paper bag yang berikan seragam sekolahnya, dan berjalan masuk ke arah kamar mandi. Setelah beberapa menit mengeram di kamar mandi, cowok itupun keluar dalam keadaan fresh. Ia melihat mamanya yang duduk memperhatikan Milla, lalu beralih ke Julian yang duduk di sofa ruangan itu sambil menatapnya.

Sebelum ia benar-benar berangkat, Alfian memandangi Milla selama ia bisa. Semula ia berniat untuk tidak akan kemana-mana dari tempat itu sampai gadis itu terbangun dari tidur nyenyaknya. Pikirannya tidak tenang meninggalkan gadis yang kini menjadi alasannya bahagia dan menangis itu sendiri. Setidaknya ia bisa sedikit tenang karena ada mamanya yang akan menemani Milla sampai ia pulang sekolah.

"Yuk Al, kita berangkat," ajak Julian.

Alfian mengangguk, dan kembali menatap Milla, kemudian mamanya.

"Ma, aku titip Milla ya, temanin Milla sampai aku pulang ya Ma, terus jangan biarin dia masuk ke sini Ma, tolong." Alfian berwanti-wanti dengan sungguh.

"Dia? Maksud kamu kak Vino? Mama akan jagain Milla kok, kamu berangkat sekolah aja, belajar yang benar."

Alfian bergumam pelan dengan senyuman tipis. Ia mendekatkan wajahnya ke wajah Milla, mengusap lembut kepala gadis itu.

"Aku pergi dulu ya Mill, kamu harus baik-baik ya di sini. Aku balik lagi kok ke sini buat jagain kamu. Jadi, kamu gak boleh takut ya," bisik Alfian lembut.

Alfian menyalami Mamanya, mencium tangan wanita itu. "Aku berangkat ya Ma."

Julian melakukan hal yang sama dengan Julian, wanita setengah baya itu tersenyum dengan anggukan.

"Kalian hati-hati ya."

*****

Kalau ada satu permintaan yang bisa dikabulkan dalam hidup Alfian saat ini, ia akan mengajukan permintaan untuk membuat keadaan gadis itu kembali sehat. Mengingat kejadian pedih itu, rasanya masih seperti mimpi. Bahkan di saat langit telah berganti cerah seperti sekarang ini, seolah tak mampu membuat perasaan cowok yang kini menatap kosong itu tenang.

"Al?!" Suara Bima akhirnya mampu mengembalikan kesadaran Alfian sepenuhnya.

"Apaa?"

"Bengong mulu lo, kerjain tuh tugas, mau dapat nilai empat lo?" Bima meluruskan letak buku di meja Alfian agar cowok itu mengalihkan fokusnya pada pelajaran.

"Al, nih liat punya aku aja, udah hampir selesai kok, selagi guru lagi keluar juga." Eriska meletakkan buku bigboss-nya di atas meja Alfian, lalu melenggang pergi ke mejanya.

"Gak usah, gue bisa bikin sendiri!" tolak Alfian, ia mengembalikan buku itu ke pemiliknya.

"Kenapa? Kamu masih marah?"

Alfian tidak menjawab. Ia kembali duduk memusatkan perhatiannya pada buku di meja, sementara Eriska hanya mendengus tak diacuhkan Alfian.

Jam istirahat membuat Alfian kembali merindukan sosok Milla, padahal tadi pagi ia baru melihat gadis itu, meskipun tidak ada sapaan seperti beberapa minggu yang lalu dari bibir Milla.

Kali ini Alfian menolak ajakan teman-temannya ke kantin, ia lebih memilih duduk di taman sekolah untuk menenangkan pikirannya. Menikmati udara segar yang sebelumnya membuatnya sesak.

"Aku minta maaf untuk semuanya, aku tahu apapun yang akan aku lakuin gak akan merubah apapun. Tapi, aku cuma mau bilang satu hal. Aku tulus sayang sama kak Alfian. Aku juga bahagia selama ini bersama kak Alfian. Meskipun kak Alfian benci sama aku, aku tetap sayang kok sama kak Alfian."

Kata-kata itu kembali bergema di telinga Alfian, ingatan itu kembali muncul. Suara Milla yang terdengar kecewa dan terluka membuatnya hatinya tersayat. Dan semua itu terasa perih untuk kembali diingat.

"Kak Alfian mau kita putuskan? Mulai hari ini kita putus. Aku cuma berharap suatu saat nanti, kak Alfian gak benci lagi sama aku."

Alfian menggeleng kuat, dadanya yang terasa sesak. Membuang nafas berat dan mengacak rambutnya kasar.

"Arrrgghhhh," teriaknya, ia tidak peduli suara kencangnya itu akan didengar oleh orang lain.

"Kenapa lo? Gila?" ejek Edward yang berdiri beberapa langkah di sebelah Alfian.

Ejekan itu hanya dibalas oleh Alfian dengan tatapan mematikan, tanpa mau mengeluarkan suaranya. Alfian bangkit berdiri dan hendak menuju kelasnya saja. Dalam keadaan seperti ini, ia tidak ingin membuat pikirannya bertambah kacau jika meladeni Edward yang senang memancing kemarahannya.

"Gue dengar Milla kecelakaan." Edward memperpendek jarak diantara mereka, ketika langkah Alfian terhenti akibat suaranya.

"Cowok macam apaan lo, jagain cewek aja gak becus," sindir Edward tersenyum meremehkan.

Alfian diam, masih memunggungi Edward.

"Dan gue dengar, lo cuma jadiin Milla sebagai boneka lo aja kan? Boneka untuk balas dendam. Ternyata lo lebih brengsek dari gue."

Alfian membalik, membuat posisi mereka saling berhadapan.

"Denger ya! Kalau lo gak tahu apa-apa, gak usah sok andil dalam urusan gue." Alfian mengempal tangannya kuat.

Apa yang dikatakan Edward benar, ia adalah cowok brengsek yang telah menyakiti perempuan yang tidak tahu menahu masalahnya. Bukan berarti cowok yang ada di hadapannya ini berhak menghakiminya. Ia tidak akan membiarkan itu terjadi, karena tidak ada yang benar-benar tahu dirinya selain dirinya dan orang-orang terdekatnya. Orang lain hanya bisa menilai terhadap apa yang mereka lihat, tanpa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

"Setidaknya gue tahu, kalau ternyata Alfian Dinata Prasetya itu lebih brengsek daripada gue. Gue! Akan rebut Milla. Ingat!" kata Edward penuh penekanan.

Emosi Alfian kian membuncah, ia meraih kerah baju Edward dengan cepat dan siap melayangkan tinjunya, tapi urung ketika ia mulai mengendalikan dirinya. Ia tidak ingin menambah masalah menjadi runyam.

"Lo, lakuin apapun yang lo mau selagi lo bisa. Gue juga akan lakuin apapun yang gue mau selagi gue bisa," ucap Alfian, lantas menghempas krah baju Edward dengan kasar.

Alfian pergi mempercepat langkatnya dari sana. Edward masih mematung sambil menyeringai bangga.

--------------------------

Happy reading ❤❤❤

ALFIAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang