Part 6
Tidak bisa dipungkiri, rasa takut itu masih ada menghantui Milla. Ia tidak habis pikir kenapa orang-orang itu mengganggu dirinya. Kini, Milla duduk di sebuah taman sambil menggigit kuku jarinya. Air matanya terus mengalir karena ketakutan.
"Udah, jangan nangis lagi! Mereka udah pergi kok." Jujur, Alfian tidak ahli dalam menenangkan orang yang sedang menangis.
Dengan wajah yang masih belum bisa tenang, Milla menatap Alfian yang duduk di sebelahnya. "Makasih ya Kak, udah nolongin, lagi-lagi Kakak nolongin aku."
Alfian hanya mengangguk, lantas menatap langit malam yang dipenuhi cahaya bintang. Meskipun Alfian telah menolong Milla, masih terlihat bahwa ia sedang menjaga jarak dengan gadis itu. Namun, di sisi lain, Alfian sangat kasihan pada gadis yang membuat pikirannya tiba-tiba melayang entah tiba di mana.
Secuek-cueknya Alfian, ia tidak bisa melihat gadis menangis di hadapannya. Tangan Alfian menyapu air mata yang sudah membanjiri pipi gadis yang sedang menunduk itu.
"Udah, jangan nangis lagi, gue antar pulang!" kata Alfian menatap datar, kemudian menarik tangan Milla ke mobilnya.
Alfian mengantar Milla pulang sampai depan gerbang rumah gadis itu, ia melirik rumah yang terlihat bagus itu dengan mata memicing. Ada isyarat terpendam dalam tatapan matanya. Bahkan, Alfian tidak turun dari mobil untuk mengantar Milla sampai depan pintu rumahnya.
"Sekali lagi, makasih ya Kak udah nolongin aku," seru Milla sebelum ia benar-benar turun dari mobil Alfian.
"Sama-sama," sahut Alfian tanpa menatap lawan bicaranya.
"Ooh iya, kenalin, nama aku Milla." Gadis itu menyodorkan tangannya hendak bersalaman.
Alfian terdiam, ia tidak berkenan menerima uluran tangan gadis itu. Gadis itu tersenyum kaku melihat reaksi kakak kelasnya itu. Ia menarik uluran tangannya cepat.
"Nama Kakak, Alfian, kan?" Milla tersenyum hangat, tanpa henti menatap Alfian. "Sekali lagi makasih ya, Kak Alfian."
Begitu Milla turun, Alfian langsung menancap gas meninggalkan tempat itu. Sementara Milla masih terpaku di depan gerbang rumahnya melihat mobil Alfian yang mulai menjauh. Seseorang keluar dari balik pagar menegur Milla yang masih berdiri di luar dan belum juga masuk kedalam.
"Udah malam, kenapa masih di luar?"
Pertanyaan itu membuat Milla menoleh kaget.
"Papa," ujar Milla kaget. "Iya Pa, ini Milla juga mau masuk kok."
"Papa khawatir tau gak, kok pulang malam?" tanya laki-laki paruh baya tersebut.
Bingung untuk memberikan jawaban apa, membuat Milla harus berpikir sejenak untuk mencari alasan yang tepat. Tidak mungkin jika ia mengatakan bahwa ada preman yang menganggunya di jalan tadi.
"Sebelum pulang, Milla jalan-jalan sebentar tadi, Pa." Milla menjawab asal. "Oh iya, Papa kapan pulang?" tanyanya mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Tadi siang. Ya udah, istirahat sana!"
Milla menganguk tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah. Dari kecil ia hanya tinggal bersama papanya. Mama Milla sudah meninggal dunia sejak ia berusia tujuh tahun. Sejak saat itu, ia tidak lagi merasakan kasih sayang seorang ibu. Begitu juga dengan papanya, kadang Milla hanya tinggal bersama Bi Lastri yang jika papanya sibuk dengan pekerjaan. Bisa dibilang ia kurang mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya. Untung saja ada Bi Lastri yang selalu menemani dan memberikan kasih sayang untuk Milla dari kecil.
"Andai aja aku masih punya Mama, aku pasti bahagia." Milla bermonolog saat menatapi foto ibunya di meja belajar miliknya.
Raut gadis itu berubah sedih, air matanya bercucuran. Ia mengambil bingkai foto tersebut dan memeluk erat sampai tidak sadar dan ketiduran di meja belajarnya karena kelelahan, sampai-sampai ia terlelap dengan sendirinya.
Cukup lama Milla ketiduran di tempat yang tidak seharusnya ia tidur, ponselnya berdering membuatnya terbangun dan melirik arah jarum jam menunjukkan pukul 9 malam. Ia segera mencari ponselnya yang terletak di dalam tas.
Layar telepon tertulis nama Monika.
"Monik? Ada apa?"
"Lo udah bikin pr belum?"
"Apa? Pr? Yang mana?"
"Itu lho, pr matematika tadi siang, kan besok dikumpul, lo gimana sih."
Milla memukul jidatnya sendiri. "Ooh iya, gue lupa, ya udah, gue kerjain dulu ya, bye."
Di seberang sana, Monika mendengus kesal karena Milla langsung mematikan telepon sepihak begitu saja.
"Duuh, gue ketiduran lagi, mana ada PR lagi, untung aja belum larut malam," gerutu Milla sembari membuka bukunya.
****
Sarapan telah siap tersaji di meja makan. Alfian keluar dari kamar setelah rapi dan duduk di meja makan untuk menyantap sarapan pagi. Kakaknya Alvino sudah duduk di sana dan menikmani sarapan.
"Mama mana, Kak?" tanya Alfian melirik kiri kanan.
"Di belakang, lagi bikin teh anget katanya," jawab Alvino seraya mengunyah pelan makanannya.
"Kak, gue mau nanya sama lo," ucap Alfian tiba-tiba dengan tatapan intens.
"Tumben, lo mau nanya apa emang," balas Alvino terkekeh.
"Gue serius, Kak!" kata Alfian.
"Iya, nanya apa?"
"Lo kan yang udah—" Kalimat Alfian terpotong karena mamanya muncul tiba-tiba membawa segelas teh dengan tersenyum hangat pada anak-anaknya. Ia mengurungkan niatnya untuk lanjut bicara.
"Ngomongin apa sih? Serius amat," tanya wanita paruh baya itu dengan senyuman.
"Ini Ma, Alfian katanya mau nanya sama aku," jawab Alvino santai.
Mama mereka melirik ke arah Alfian penasaran "Kamu mau nanya apa sama kakak kamu?"
"Gak jadi deh Ma, aku buru-buru mau ke sekolah dulu, aku pamit ya Ma." Alfian mencium punggung tangan mamanya.
"Gue berangkat Kak," tambah Alfian melirik kakaknya sejenak.
"Liat tuh adek kamu, main kabur aja, padahal dia belum sarapan tuh!" kata wanita itu, kemudian duduk.
"Udahlaah Ma, Alfian udah gede, ntar di sekolah dia juga sarapan kok." Alvino memberikan senyuman hangatnya, lantas melanjutkan menyantap sarapannya.
----
Happy reading ❤
Jangan jadi siders ya! Silahkan tinggalkan votment gaes 😘Find me to instagram @ogghykurniaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFIAN [Completed]
Novela JuvenilFOLLOW DULU SEBELUM BACA📍 Menghindar jauh-jauh dari gadis itu merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Namun semesta tidak berpihak padanya. Ketika gadis itu menganggap dirinya sebagai malaikat penyelamat. Semua berubah, membuatnya merutuki diriny...