Part 42
Hati Alfian menghangat saat pertama kali melihat senyuman gadis itu dua tahun yang lalu. Di luar batas kesadarannya, ia ikut mengembangkan senyumannya. Mencuri pandang melirik gadis dengan rambut yang jatuh menyentuh bahu. Gadis itu tampak ceria dan sibuk mengobrol dengan seorang temannya di depan perpustakaan. Gadis memeluk sebuah buku di dadanya.
Entah apa pikiran Alfian saat itu, ia mengeluarkan ponselnya dan memotret gadis itu dari tempat yang tidak terlalu jauh. Cara kerja otak Alfian kali ini sangat berbeda, jika biasanya dirinya malas melirik seorang gadis, kini yang hal itu dibantah.
Alfian akui, dia jatuh cinta pada pandangan pertama pada gadis itu. Gadis itu, adalah Milla.
Sebuah buku bewarna hitam berada di tangan Alfian. Cowok itu duduk di pinggir kasur dengan handuk yang menyangkut di lehernya. Rambut yang setengah basah dan aroma yang menyegarkan menguak dari tubuhnya. Segitu selesai membersihkan diri, ia berencana untuk segera menuju rumah sakit.
Alfian membuka buku bewarna hitam itu, dan langsung melihat sebuah foto. Gambar seorang gadis yang sedang tersenyum manis dengan pose yang cukup menggemaskan. Padahal foto itu diambil secara diam-diam. Di balik gambar itu tertulis tulisan tangan Alfian.
First Love, Alfian.
Alfian sempat kalang kabut, saat buku berwarna hitam itu jatuh dari tasnya di basecamp. Yang membuatnya takut bukan karena isi buku itu, melain foto yang diselipkan di dalamnya. Akan sangat kurang nyaman jika teman-temannya mengetahui bagaimana perasaan sebenarnya. Beruntung, dewi penolong berada dipihaknya, melihat reaksi ketiga temannya biasa saja saat Alfian menanyakan soal bukunya yang ketinggalan itu, cukup membuatnya tenang.
Ibu jari Alfian mengusap wajah difoto itu penuh perasaan. Ia memejamkan matanya mencoba untuk menetralisir matanya yang sudah mulai memanas. Ia kembali meletakkan foto itu ke tempat semula dan bersiap untuk berangkat ke rumah sakit.
Sebuah notifikasi dari ponselnya berhasil menghentikan langkah Alfian di bagasi rumahnya. Ia berdecak setelah membaca pesan itu.
***
Semula Nira mengira hanya halusinasi saja yang membawanya untuk terus berharap. Namun ternyata, itu nyata. Jari-jari tangan Milla bergerak pelan. Mata gadis itu juga perlahan terbuka sayu. Ia menutup mulutnya tidak percaya, air matanya meluncur begitu saja. Tidak ingin mengambil kesimpulan sendiri, Nira memanggil dokter untuk memastikan keadaan Milla.
Entah apa yang terjadi, entah ini sudah menjadi rencana Tuhan, dokter mengatakan bahwa Milla mengalami kemajuan yang tidak disangka sebelumnya. Pastinya kabar itu sangat membuat Nira dan yang lain nantinya akan merasa lega. Milla sadar dari koma.
Nira menghubungi semua teman-teman Milla untuk memberi kabar bahagia itu. Semua sangat senang mengetahuinya. Bahkan ada yang segera buru-buru datang ke rumah sakit untuk memastikan sendiri. Namun karena sudah malam, Nira mencegah mereka untuk datang menemui Milla.
"Tante senang, kamu sudah bangun, sayang." Nira mengusap pelan kepala Milla menunjukkan rasa sayangnya.
Sejak kembali membuka mata, Milla tidak bersuara sedikitpun. Tatapan mata gadis itu terlihat lemah seolah ingin menutup kembali. Selang oksigen masih terpasang, membantunya untuk bisa bernafas lebih baik.
Nira tersenyum tulus, tangannya yang masih bertaut dengan tangan Milla. "Kami semua khawatir banget sama keadaan kamu."
"Ta-tan-te." Milla bergumam dengan susah payah. Tepat setelah mendengar suara Milla, air mata Nira kembali menetes yang langsung ditutupi dengan senyuman.
"Sayang, kamu gak usah ngomong dulu ya, kamu istirahat aja dulu, biar pulih." Ucapan Nira mendapat anggukan dari Milla. Mata gadis itu benar-benar sayup memandang.
"Kamu istirahat aja ya, kamu pasti masih lelah."
Milla dapat melihat bagaimana air mata Nira jatuh karena mengkhawatirkan dirinya. Nira--yang mengingatkan Milla pada mamanya yang telah tiada.
"Jangan khawatir, Tante bakalan temanin kamu di sini, jadi, kamu gak akan sendirian." Nira mencoba menghibur Milla kala melihat raut wajah gadis itu yang sedikit canggung.
Milla punya banyak sekali pertanyaan, sayangnya mulutnya terasa berat untuk berucap. Sebelumnya Dokter juga sudah memberitahu Nira bahwa ini akan terjadi.
Nira berpikir, hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh semua yang sangat mengkhawatirkan Milla. Apalagi untuk Alfian, anak bungsunya itu. Sampai detik ini juga, anak itu tidak juga sampai ke rumah sakit. Padahal tidak ada satu malam pun yang ia lewatkan untuk menunggui Milla disana. Ponsel Alfian pun juga tidak diangkat olehnya. Nira berpikir ke mana anak itu.
Deritan pintu terbuka mengalihkan pandangan Nira dari Milla. Alvino berdiri tegap di ambang pintu menatap mamanya dan Milla bergantian. Setelah mendengar kabar tentang gadis itu dari mamanya, Alvino langsung segera ke rumah sakit.
Laki-laki itu mendekat ke arah brankar. Mata Milla yang awalnya sayu, kini membulat dengan nafas memburu. Alvino berdiri di sisi sebelah kiri Milla.
"Vin, Mama kan udah bilang, Mama udah bilang besok aja ke sininya." Nira melirik tatapan Milla yang was-was, mata gadis itu berair.
"Aku mau ketemu Milla sekarang Ma," kata Alvino dengan nada pelan.
Tangan Alvino terulur menyentuh puncak kepala Milla, gadis itu sekuat tenaga menghindar. Tubuhnya terasa lemas dan tidak beranjak seincipun. Alvino berhasil mendekatkan dirinya pada Milla yang terlihat ketakutan.
"Maafin kakak ya Mil, maaf karena udah bikin kamu kayak gini." Alvino yang biasanya terlihat arogan untuk kesan pertama Milla, berubah untuk yang terlihat kali ini bagi Milla.
Nira yang menyaksikan perlakuan Alvino pada Milla menjadi serba salah. Di satu sisi, ia tahu maksud Alvino tulus minta maaf, dan di sisi lain, ia bisa melihat kalau Milla sangat ketakutan menatap Alvino.
Alvino bisa merasakan tubuh Milla bergetar saar tangannya menyentuh kepala gadis itu. Tujuan Alvino saat ini hanya satu, yaitu mendapatkan maaf dari Milla.
"Aku minta maaf, gak seharusnya kamu menerima semua ini."
Milla masih bergetar, ujung matanya sudah berair. Meskipun ucapan maaf dari Alvino terdengar tulus, tetap saja membuat getaran takut itu tidak hilang.
"Vin, kita bicara di luar ya!" kata Nira bangkit dari duduknya.
"Sayang, Tante bicara sama kak Vino bentar ya, kamu istirahat aja." Nira mengecup hangat kening Milla sebelum ia menarik tangan Alvino keluar dari ruangan itu.
Begitu pintu tertutup rapat, Alvino melempar sorot tanda tanya pada Nira yang menduduki sebuah kursi didepan ruangan itu.
"Ada apa Ma?"
"Kamu lihat sendiri, kan reaksi Milla gimana?"
Alvino menunduk, lalu setelahnya mengangguk kecil.
"Iya, aku tahu Ma, Milla keliatan takut sama aku." Alvino mengakuinya.
"Mama harap kamu bisa lebih sabar untuk mendapatkan maaf dari Milla, bagaimana pun juga, Milla itu adik kamu, sama kayak Alfian. Tugas kamu sebagai kakak harus menjaganya."
"Iya Ma," ujar Alvino patuh. Ada satu keganjalan untuknya saat ini. "Alfian mana Ma? Dia udah tau kan tentang Milla?" tanya Alvino.
"Mama udah hubungin dia, tapi gak diangkat. Mama juga udah kirim pesan, tapi gak dibales. Kamu gak tau di mana adik kamu?"
Alvino menggeleng. "Aku gak tau Ma, seharian ini aku di kantor, belum ke rumah."
Seharusnya Alfian adalah orang pertama yang harusnya segera datang menemui Milla jika gadis itu sadar. Dan itu cukup membuat Nira dan Alvino berpikir. Apa terjadi sesuatu dengan Alfian.
---------------
Tinggalkan jejak yaa❤
IG : ogghykurniaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFIAN [Completed]
Teen FictionFOLLOW DULU SEBELUM BACA📍 Menghindar jauh-jauh dari gadis itu merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Namun semesta tidak berpihak padanya. Ketika gadis itu menganggap dirinya sebagai malaikat penyelamat. Semua berubah, membuatnya merutuki diriny...