Part 44
Tanpa terasa sudah satu minggu Milla bangun dari tidur panjangnya. Dan sampai detik ini juga keadaannya juga mulai membaik dari sebelumnya. Membiasakan diri dengan keadaan barunya.
Beberapa hari yang lalu, Wijaya datang menjenguknya dengan dikawal oleh beberapa polisi. Mereka saling mengungkapkan rasa rindu dan sesal yang tidak dapat dilupakan. Wijaya juga berpesan agar putrinya itu menjaga diri dengan baik. Bagaimana pun keadaannya, Wijaya tetaplah orangtua Milla yang sangat disayanginya.
Sebulir air mata jatuh di sudut mata Milla. Gadis itu menengadahkan kepalanya berusaha melenyapkan segala yang berputar di benaknya. Menyelapkan satu persatu kejadian yang masih tertinggal di kepalanya.
Berbeda dengan Alfian, cukup banyak orang yang mampu melihat kehancurannya. Ia menangis dalam hati menolak semua yang terjadi. Mati-matian ia menahan diri untuk tidak muncul di hadapan gadis yang sangat disayanginya. Pada nyatanya, sekuat apapun Alfian membentengi diri, tidak membuatnya yakin akan tekadnya.
Seperti seminggu terakhir ini, diam-diam cowok itu datang menemui Milla tanpa sepengetahuan gadis yang telah berhasil mengisi hatinya. Bahkan untuk mengucapkan kata maaf pun Alfian belum sempat berkata langsung.
Untuk saat ini, Alfian sudah cukup merasa bahagia melihat gadisnya kembali membuka mata. Mata coklat yang selalu berhasil membawanya masuk ke dalamnya.
Alfian duduk di dalam mobilnya dengan tangan tertumpu pada stir mobil. Mobilnya terparkir dipinggir jalanan yang cukup lengang. Tadinya ia ingin menuju rumah sakit mengamati Milla dalam diam.
"Lo kalah." Edward berpangku tangan mengejek Alfian.
Entah apa yang membuat Alfian mau mengikuti hal konyol ini. Padahal Alfian sudah memperkirakannya untuk tetap bertahan sampai duluan di garis finish.
"Sepertinya lo udah nunggu kekalahan gue dari jauh hari ya." Alfian mengangguk paham dengan posisinya saat ini.
Bukannya menanggapi, Edward malah tertawa lepas dengan nada mengejek.
"Sesuai perjanjian, lakukan apa yang seharusnya lo lakukan!"
Alfian memukul stir mobilnya kencang, meluapkan emosinya yang sudah memuncak. Setelah beberapa menit menenggelamkan kepalanya di tangannya, ia mengusap wajahnya dengan helaan nafas yang cukup melelahkan.
***
Mobil berwarna hitam pekat Alfian berhenti di depan bangunan tua usang yang tidak jauh dari sekolahnya.
Selangkah lagi, Alfian melewati pintu masuk bangunan itu. Tangannya bergantung di daun pintu untuk mendorong pintu itu agar terbuka. Mata Alfian memicing saat pendengarannya menangkap pembicaraan itu. Ia tahu persis siapa pemilik suara itu.
"Gue puas liat dia merasakan itu, si berengsek itu emang pantas dapetinnya."
"Maksud lo apa, hah?" Alfian berdiri di depan pintu menatap datar orang-orang di tempat itu.
"Jelasin! Maksud lo apa?" Mata Alfian terpusat pada satu titik tanpa mempedulikan yang lain. Sekilas yang pasti beberapa orang di sana terlihat seperti singa yang siap memakan mangsanya.
Alfian mengayunkan gempalannya ke wajah Bima, membuat cowok itu terhuyung ke belakang. "Jadi lo dalang di balik semua ini?"
Bima tergelak melihat reaksi Alfian yang sudah di prediksinya dari awal. Tidak hanya sekali, ia kembali menghajar Bima. Namun, cowok itu sama sekali tidak menghindar. Geram, karena Bima belum juga membuka suara, ia kembali melayangkan pukulannya. Untuk kali ini, Bima berhasil menangkis dan menghajar Alfian dengan sekali pukulan.
"Iya, gue yang lakuin itu. Gue yang udah nyuruh orang buat nabrak Milla, dan gue juga yang udah bikin lo jatuh dari motor pas balapan sama Edward. Gue kerjasama sama Edward buat itu."
Alfian benar-benar tidak percaya akan hal ini. Jatuh dari motor akibat balapan itu memang tidaklah parah, hanya menimbul memar dan sekidit luka di tubuhnya. Tidak pernah terlintas dipikirannya, bahwa sahabatnya akan melakukan pengkhianatan seperti ini.
"Munafik lo! Gue kira lo sahabat, ternyata lo gak lebih dari bangsat!"
"Lo yang bangsat Al." Bima menaikkan nada bicaranya beberapa oktaf, melotot menatap Alfian yang berusaha menahan diri untuk menghajarnya.
"Lo lupa hah, karena keegoisan lo waktu itu minta gue buat datang ke basecamp, gue mungkin bisa nolongin bokap gue yang lagi terjebak karena mobilnya yang lagi mogok malam itu. Kalo bukan karena lo, gue pasti bisa nyelamatin bokap gue dari penjahat itu yang mau ngerampok bokap gue. Bahkan di saat gue lagi down, lo sempat-sempatnya nyalahin gue karena gue yang ngehajar teman-teman Edward habis-habisan. Karena emang mereka yang salah. Gue ngerasa lo gak ngehargain gue sebagai sahabat lo. Padahal saat itu gue lagi belain lo."
Alfian menggeleng, kejadian itu sama sekali bukan keinginannya. Sorot mata Bima saat ini berbeda dengan biasanya. Ternyata Bima menyimpan semua itu selama ini.
Itu musibah, semua terjadi begitu saja. Takdir tidak akan pernah bisa dicegah untuk terjadi. Manusia hanyalah tokoh yang akan memainkan peran sesuai skenario Tuhan. Lantas, apakah pantas manusia menyalahkan keadaan yang sudah terjadi?
"Lo gak cukup pinter ternyata Al. Lo tau, bukan Wijaya yang udah bikin bokap lo meninggal." Bima tersenyum devil menatap Alfian yang tampak shock dengan penuturannya.
"Gue yang lakuin itu. Gue pengen liat gimana reaksi lo saat ngerasain apa yang gue rasain dulu. Lo tau sendiri kan, nyokap gue meninggal beberapa bulan setelah bokap gue meninggal karena depresi akibat kehilangan bokap gue. Dua orang yang gue sayang pergi, dan semua gara-gara lo!"
"Gue berhasil mengelabui lo dan kakak lo itu. Gue tahu dari awal Milla masuk ke sekolah kita, lo naksir dia kan. Rencana gue berhasil, ngebuat lo berada di posisi terjepit untuk memilih. Sama kayak gue dulu, antara milih sahabat berengsek kayak lo atau bokap gue. Harusnya gue gak dengerin ucapan lo waktu itu dan nolongin bokap gue."
"Berengsek lo Bim," pekik Alfian marah. Pasokan kesabarannya benar-benar sudah terkuras untuk Bima. Gerakan Alfian yang akan menghujam Bima dengan gempalannya urung seketika beberapa orang disana menghalangi niatnya.
"Lo pasti bingung, kenapa Wijaya gak mengelak sama sekali atas tuduhan itu. Itu di bawah kendali gue. Pilar permainan gue ada pada Milla, gadis yang menjadi target balas dendam lo."
Bima memberi kode pada beberapa orang di sana. Sekejap orang-orang itu langsung menyerang Alfian tanpa aba-aba. Rentetan pukulan menghantam Alfian. Perkelahian itu tidak sebanding, cowok itu sudah kewalahan mengimbanginya. Hingga akhirnya tubuh Alfian jatuh tersungkur ke lantai dengan wajah babak belur.
Orang-orang itu perlahan menjauh, dan meninggalkan tempat itu setelah perintah Bima. Bima mendekat, berjongkok di depan tubuh Alfian yang terkapar di lantai kumuh itu. Senyuman kemenangan tercetak di bibir Bima.
"Sahabat berengsek gue ini, ternyata bisa kalah juga ya. Mana Alfian yang jago berantem itu? Udah lemah hanya karena cewek itu?!"
"Pengecut lo!" kata Alfian seraya memegangi dadanya. Sudut bibir Alfian sedikit robek mengeluarkan darah segar. Ia akui, saat ini dirinya kehabisan tenaga untuk melawan Bima.
Bima menyeringai dengan tatapan tak acuh. Tangannya merogoh saku hoddie-nya, mengeluarkan pisau stainless yang di arahkan pada Alfian. Alfian beringsut mundur saat benda itu mendekati tubuhnya.
"Ucapin selamat tinggal buat dunia lo sahabat berengsek."
-------
Selamat membaca ❤
Apa kabar?
Tinggalkan jejak ya, jangan jadi siders 📍
IG : ogghykurniaa
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFIAN [Completed]
Dla nastolatkówFOLLOW DULU SEBELUM BACA📍 Menghindar jauh-jauh dari gadis itu merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Namun semesta tidak berpihak padanya. Ketika gadis itu menganggap dirinya sebagai malaikat penyelamat. Semua berubah, membuatnya merutuki diriny...