Part 38
Sekencang mungkin Alfian berlari merasuki area rumah sakit begitu mobilnya berhenti di parkiran. Hingga membuatnya beberapa kali menabrak orang-orang yang sedang berkeliaran di area itu. Untungnya satpam penjaga sekolah mengizinkannya keluar di saat masih jam pelajaran, tentu dengan memberikan alasan yang masuk akal. Alfian tidak peduli dengan apa yang ada di sekitarnya saat ini, yang ia pedulikan hanyalah bagaimana bisa tiba di rumah sakit dengan cepat.
Sekarang di sinilah Alfian berdiri, di depan kamar inap Milla. Ia melihat Nira yang sedang duduk sambil menggenggam erat tangannya. Nafas Alfian masih terbata-bata tak beraturan.
"Milla akan baik aja, kan Ma?" Raut wajah Alfian begitu cemas.
Mama Alfian menggeleng pelan, wanita itu memandangnya dengan mata merah.
"Mama juga gak tahu Al, semoga aja Milla baik-baik aja. Mama juga panik, tadi tiba-tiba aja Milla--"
Suara deritan pintu terbuka mencuri perhatian keduanya, membuat Alfian langsung menghadang Dokter yang baru saja keluar dari ruangan itu.
"Keadaan Milla gimana Dok? Milla baik-baik aja, kan?" tanya Alfian dengan satu helaan nafas.
Dokter itu terdiam cukup lama, membuat Alfian muak dan hampir saja mau menerobos masuk ke dalam ruangan itu. Ayunan kaki Alfian terpaku di tempat ketika hendak mendorong pintu kamar inap Milla.
"Maaf, saya rasa tidak ada gunanya alat-alat itu terpasang di tubuh pasien. Tidak ada respon apapun dari pasien sendiri, dan itu membuat kami pihak medis menyimpulkan bahwa pasien tidak akan--"
"Cukup Dokter, pokoknya saya gak mau itu terjadi. Jangan coba-coba untuk melakukan itu Dok. Milla pasti akan kembali bangun. Kita hanya perlu waktu. Jadi tolong jangan biarin dia kenapa-napa Dok. Yang menentukan semuanya itu Tuhan, tolong berjuang sembuhkan Milla Dok." Alfian merasa dunianya kembali terguncang. Dokter yang melihatnya pun menatap iba, ia sudah terbiasa menghadapi hal seperti ini, komplen yang membuatnya di posisi sulit.
"Baiklah, kalau memang seperti itu kemauan kamu, kami akan melakukan seperti apa yang kamu inginkan," ujar Dokter itu tenang menatap Alfian yang penuh kepanikan, lalu beralih kepada suster yang berdiri di sebelahnya terlihat takut-takut.
"Seperti yang saya bilang sebelumnya, benturan yang terjadi pada bagian kepala pasien cukup mengkhawatirkan, cidera itu membawa efek besar untuk tubuhnya. Kalaupun nantinya pasien bangun dari koma, itu adalah suatu keajaiban. Meskipun nantinya, kemungkinan pasien akan mengalami kelumpuhan total."
Air mata Alfian tiba-tiba saja meluncur tanpa mau dihambat oleh apapun. Ia melirik mamanya seolah menginginkan mamanya mengatakan bahwa itu tidak mungkin. Tidak ada yang tidak mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.
"Apapun yang terjadi nanti pada pasien, saya harap pihak keluarga bisa lebih berlapang hati. Saya juga berharap yang terbaik untuk pasien saya. Kalau begitu saya permisi."
Dokter itu pergi diiringi oleh dua orang suster. Alfian melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam ruangan itu yang tadi sempat tertegun. Nira mengikuti ke dalam. Ia mengusap pelan punggung Alfian memberikan kekuatan agar anak itu kuat menghadapi situasi seperti ini. Mereka menatap ke arah Milla menutup rapat-rapat matanya penuh harapan.
"Mama tahu kamu sayang sama Milla, Mama juga sayang sama Milla. Yang perlu kita lakukan sekarang hanyalah berdo'a. Kamu harus percaya, setiap apa yang terjadi selanjutnya itu adalah rencana Tuhan. Kita gak tahu rencana apa yang akan Tuhan berikan untuk kita. Kita harus percaya, bahwa Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk hamba-Nya."
Penuturan itu cukup membuat Alfian berpikir keras. Alfian mengangguk, ia tahu apa yang dikatakan mamanya sangatlah benar. Akan tetapi, setelah kejadian ini ketakutannya semakin menjadi-jadi. Di depan pintu kamar inap itu, seorang laki-laki berdiri cukup lama setelah mendengar banyak pembicaraan itu. Laki-laki itu bergegas pergi sebelum ada orang menyadari kehadirannya.
Alfian berjalan sempoyongan duduk di sebelah Milla. Menggenggam lembut tangan pucat gadis itu.
"Aku takut Ma, aku takut Milla pergi kayak papa dulu."
Mama mengusap penuh kasih rambut Alfian. Kehilangan orang yang kita sayangi memang tidaklah mudah. Butuh waktu yang cukup lama untuk memulihkan hati. Ia bisa merasakan bagaimana rasa khawatir anaknya saat ini.
"Mama yakin, Milla gadis yang kuat, dia pasti bisa bertahan."
"Tapi, ini udah hampir satu bulan Ma, Milla belum juga bangun."
"Mungkin sekarang ini, belum waktunya Milla bangun. Bila nanti waktunya udah tiba, Milla pasti bakalan bangun sayang. Kita harus bersabar menanti waktu itu datang."
Semua akan terjawab dengan semestinya. Sederhananya adalah sabar untuk menunggu waktu itu menghampiri. Bermain dengan keadaan rumit seperti ini bukanlah keahlian Alfian, melainkan mimpi buruk untuknya.
Alfian memejamkan matanya, masih dengan menggenggam erat tangan gadis itu.
"Tuhan, aku mohon, sembuhkan Milla. Tolong jangan ambil Milla dariku. Aku akan lakukan apapun, asalkan Milla bangun. Aku akan terima, jika nantinya Milla akan membenciku setelah dia bangun. Aku mohon Tuhan."
Alfian menghapus air di sudut matanya. Rasa bersalah menggeluti dirinya, ia merasa gagal melindungi gadis itu. Ia tidak memiliki daya apapun saat ini, tapi ia juga tidak sanggup kehilangan orang yang sangat berarti baginya.
"Mama benar, kita hanya perlu menunggu. Aku akan terus tunggu sampai Milla buka mata lagi." Alfian melepas penyatuan tangannya dari Milla, mengusap lembut kepala Milla penuh sayang.
Bangkit dari duduk, tangannya terentang untuk mendekap Nira—ibunya. Dekapan itu sangat hangat menghadirkan ketenteraman dunianya.
"Makasih ya Ma, Mama udah mau nemanin Milla di sini selama aku sekolah. Makasih juga karena Mama selalu ngerti perasaan aku."
Nira tersenyum tulus. Tangannya naik turun di panggung kokoh Alfian.
"Kamu gak perlu bilang makasih, ini udah jadi tugas Mama buat ngertiin kamu, anak Mama. Mama juga sayang sama Milla seperti sayang sama anak Mama sendiri. Sama kayak kamu dan Vino."
Mendengar nama itu disebut, Alfian perlahan melonggarkan pelukannya. Menatap wanita yang telah melahirkannya itu dengan ekspresi lelah. Ia memalingkan tatapan pada Milla yang terlihat damai dalam tidurnya.
"Mama tahu, kamu belum maafin kakak kamu. Memaafkan memang sulit, tapi membenci hanya akan membuat diri kita terpuruk. Bagaimana pun juga dia kakak kamu."
"Dia bukan kakak aku lagi Ma!"
"Al, jangan ngomong kayak gitu. Kalian sama-sama anak Mama. Tolong jangan buat Mama berada di posisi sulit karena gak bisa mendamaikan anak-anak Mama."
"Aku gak bisa Ma. Aku gak bisa bersikap seolah gak terjadi apa-apa. Karena papa kandungnya, aku kehilangan papa Ma. Dan sekarang, karena ulah dia, aku harus sakit liat Milla berbaring lemah kayak gini."
Dada Alfian bergejolak. Hal ini terlalu menyakitkan, menyadari kenyataan yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Alfian akui Alvino adalah kakak yang dari dulu selalu ada untuknya, yang selalu menjadi panutan. Itu dulu, sebelum mimpi buruk ini hadir.
-----------------
Selamat membaca ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
ALFIAN [Completed]
Подростковая литератураFOLLOW DULU SEBELUM BACA📍 Menghindar jauh-jauh dari gadis itu merupakan suatu hal yang harus dilakukan. Namun semesta tidak berpihak padanya. Ketika gadis itu menganggap dirinya sebagai malaikat penyelamat. Semua berubah, membuatnya merutuki diriny...