ALFIAN : Part 8

7.1K 456 45
                                    

Part 8

Kalau saja keadaan tidak berada di titik ini, mungkin semuanya berjalan sesuai dengan yang seharusnya diinginkan hati. Keadaan yang membuatnya berada di tengah-tengah, antara maju atau mundur dalam tujuan itu. Meskipun telah diwanti-wanti menyuruhnya memulai rencana yang telah disiapkan, ia belum juga bergerak sedikitpun. Dalam hatinya yang paling dalam, kebencian dan amarah itu masih sangat membara.

Julian datang dari arah samping menghampiri Alfian yang sedang sibuk menyetel gitarnya di tempat biasa dirinya menyendiri, rooftop.

"Al, jadi gimana? Kalau lo gak gerak, kak Vino pasti bakalan marah."

Otak Alfian langsung bekerja setelah mendengar ucapan Julian yang juga ada benarnya. Bahkan bisa jadi Alvino akan langsung turun tangan sendiri.

Sekolah sudah bubar sekitar sejam yang lalu. Beberapa siswa masih berkeliaran di area yang penuh aturan itu. Menyendiri, itulah kebiasaan sosok yang terlihat sangat cuek itu. Tapi di balik itu tersimpan rasa peduli yang tak terlihat oleh orang lain.

"Gue duluan!" ujar Alfian sembari mengotong tas dan gitarnya pergi dari tempat itu.

Julian menghela nafas sambil menggeleng. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk sahabatnya itu. Yang jelas ia tahu satu hal kebenarannya.

Di gerbang sekolah, Alfian melihat Edward dan teman-temannya. Musuh bebuyutannya itu terlihat sedang mengajak seorang perempuan berbicara seolah tengah menggoda. Perempuan itu adalah Milla. Anehnya, perasaan itu datang lagi, perasaan yang campur aduk menyelimuti hatinya.

Alfian menguatkan hatinya untuk tidak peduli, ia lewati gerbang begitu saja tanpa melirik sedikitpun. Sementara itu Edward menatap miring Alfian yang lewat dengan berlagak tak acuh. Ia sangat membenci Alfian dan teman-temannya.

Lain halnya dengan Milla, gadis itu terus melihati Alfian sampai motor itu tidak terlihat lagi. Hingga akhirnya tatapannya teralih begitu terdengar pertanyaan yang diajukan padanya.

"Jadi gimana? Mau gue anterin aja ya?" tanya Edward lembut.

Milla menggeleng dengan senyuman tipis. "Enggak usah Kak, aku bisa pulang sendiri kok."

Teman-teman Edward tertawa meledaknya atas penolakan Milla. Namun tawa itu terhenti seketika begitu ia menatap tajam teman-temannya itu.

"Yaudah, hati-hati ya. Gue duluan," kata Edward yang terlihat sedikit kecewa.

Pikiran Milla masih terganggu oleh sosok yang lewat barusan. Ia hanya membalas ucapan Edward dengan anggukan. Memang, sejak ia bersekolah ini, Edward selalu berusaha mendekatinya.

Jika dilihat dari fisik, Edward cukup ganteng, tinggi, dan lumayan pintar. Sayangnya ia selalu membuat onar dan memiliki sikap egois serta keras kepala. Namun, entah kenapa, pikiran Milla selalu tertuju pada laki-laki yang telah menyelamatkannya beberapa hari yang lalu. Alfian.

Hatinya masih bertanya-tanya kenapa sikap Alfian seperti itu padanya, kadang baik, kadang peduli, kadang cuek dan seolah tak kenal. Tapi, ya sudahlah. Milla cukup tahu kalau sosok laki-laki itu baik hati.

"Lo belum pulang juga Mil?" tanya Lani, salah satu teman sekelasnya.

"Eeh, Lani. Belum nih, gue nunggu jemputan," jawab Milla sekenanya.

"Lo sendiri kok masih di sini?" tanya Milla seketika mengedarkan pandangannya.

"Ooh, gue ada piket kelas tadi," jawab Lani dengan ramahnya.

Tidak lama kemudian, sebuah mobil berwarna hitam berhenti tepat di depan mereka. Tentu saja, itu adalah jemputan Milla. Seorang pria tua keluar menghampiri Milla dengan santun.

"Maaf ya Neng, nunggu lama. Soalnya tadi saya ganti oli dulu di bengkel," kata Pak Toto, supir keluarga Milla.

Milla tersenyum lebar, memaklumi kondisi itu. "Iya, gak apa-apa kok Pak."

"Lan, gue duluan ya! Gimana kalau lo bareng aja sama gue?" ajak Milla sambil menarik lembut tangan Lani masuk ke dalam mobil.

Lani menolak, ia sungkan menerima niat baik Milla. "Gak usah Mil, gue naik taksi atau ojek aja nanti."

"Gak apa-apa kok, ayo masuk!" ujar Milla sedikit memaksa.

Di dalam mobil, Lani dan Milla mengobrol hangat. Lani memang sedikit pendiam awalnya, akhirnya Milla bisa mengajaknya mengobrol banyak. Dan sekarang, Milla yakin ia tidak hanya punya Monika, ia juga berteman baik dengan Lani.

"Monika udah duluan tadi, makanya gue sendiri," jelas Milla seraya menyandarkan tubuhnya.

"Oh gitu, btw gue baru ingat, kesenian kita sekelompok, kan ya? Nanti kalau mau ngerjain kabarin gue ya!" kata Lani sambil sesekali melirik ke jalanan.

"Okee, siap!" balas Milla seraya membentuk jarinya bulat.

***

Tangannya menari-nari diatas keyboard laptop dengan wajah serius. Suasana ruangan yang sangat hening tentu saja membuat pikirannya fokus dengan aktivitasnya. Banyak file-file yang tertata rapi di meja serta terpajang sebuah foto keluarga yang sangat bahagia dengan bingkai yang indah dan elegan.

"Kak," sapa Alfian yang tiba-tiba muncul di depan pintu.

Tidak menoleh sedikitpun, Vino tahu persis siapa yang datang. Ia tetap melanjutkan aktivitasnya.

"Kalau mau masuk ruangan orang itu, ketuk dulu Al," sahut Alvino datar.

Alfian duduk di kursi hadapan kakaknya, menatap kesal cowok itu. "Gue mau ngomong kak!"

"Gak bisa di rumah aja," ujar Alvino acuh.

"Gak bisa Kak!" bantah Alfian tegas.

Alvino menghentikan pekerjaannya, lalu menatap Alfian serius. "Ngomong apa?"

"Kemarin ada preman yang gangguin dia, bahkan mau menyelakai dia. Itu orang suruhan lo, kan Kak?" tebak Alfian yakin.

Alvino mangguk-mangguk dengan bangganya. "Iya, dan—"

"Kak!" potong Alfian.

"Gue tahu lo yang nyelamatin dia kan, bagus, semua sesuai rencana gue." Alvino bangkit berdiri dengan penuh wibawa sambil menatap keluar jendela.

"Sekarang, lo lanjutin sesuai rencana awal, dan setelahnya urusan gue!" perintah Alvino tegas.

Alfian terasa lidahnya kelu untuk menjawab. Ia diam. Reaksi itu membuat Alvino heran seolah ada yang sesuatu yang tersembunyikan.

"Kenapa?"

"Gue balik dulu!"

Alfian bergegas pergi dari tempat itu dengan perasaan yang campur aduk.

---------------------------------

Find me on instagram @ogghykurniaa

Happy reading gaes. Semoga suka ❤

ALFIAN [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang