Axelle Avery

677 102 13
                                    

Blind - 10 (Axelle Avery)

Aku tidak biasa mendapatkan kekalahan.

"Jadi honey, apa keputusanmu?."

Camel diam. Ia tau keluargnya pasti bersumpah serapah melihat Camel hanya diam.

Tapi Camel masih 18 tahun. Kehidupannya masih panjang. Ia tidak mau usahanya sia sia. Tapi, ia juga tidak bisa menjadi egois dengan mengorbankan seluruh keluarganya.

Camel mengangkat kepala, memperhatikan wajah keluarga kecilnya satu per satu. Kakaknya sudah menangis. Ia pasti merasa gagal menjadi seorang kakak. Ia tidak bisa membela adiknya.

"Aku tidak sesabar itu, honey" Axelle menggeram. "Satu-."

Camel menjerit. Ia gemetar. Ia meminta saran. Namun tidak ada yang menjawab. Keluarga kecilnya juga lebih memilih menutup mata mereka. Mereka tidak ingin hidup Camel hancur. Namun mereka juga tidak mau keluarga mereka mati yang pasti menyebabkan Camel dihantui rasa bersalah.

"BUNDA.. AYAH.. KAKAK! "Camel berteriak. Di saat seperti ini, Camel merasa sendiri. Ia merasa sendirian di tengah tengah keluarga besarnya. Camel mengulurkan tangan meminta pertolongan, namun tidak ada yang menyambut uluran tangannya. Mereka membuang muka. Memilih bersiap siap dengan takdir yang ada.

"Dua--"

Pria berbadan besar mulai mempersiapkan jari mereka untuk menekan pelatuk. Camel menggeleng, "Ngga.. Ngga" Camel ingin menjawab iya. Namun terasa sulit.

Axelle marah mendengarnya. Ia kira Camel menolaknya, "Tig-. "

"AKU MAU!."

***

"AKU MAU!" Camel menjerit, "Aku mau, Axe. Aku mau" Camel membekap mulut Axelle agar berhenti berucap. Ia menggeleng, menatap Axelle memohon.

Axelle mengangkat tangannya, memerintahkan bawahannya untuk menurunkan senjata mereka. Axelle tersenyum licik di balik tangan Camel.

Axelle menurunkan tangan Camel. Senyuman licik masih tecetak jelas di wajahnya, "Kau.. Mau apa honey?" tanya Axelle sambil mengusap pipi Camel lembut.

Camel menunduk, ia memukul dada Axelle "Aku mau. Kau menang, Axe. Kau menang" lalu Camel menjerit kesal. Tentu saja, hidupnya hancur.

"Kau.. Kau mau menikah denganku?" tanya Axelle tidak percaya. Ia tau pasti Camel akan menerimanya. Hati Camel terlalu lembut untuk ia bersikap egois. Tapi Axelle masih tidak percaya. Akhirnya, gadisnya akan menjadi miliknya.

Camel mengangguk. Memangnya apa lagi? Apa lagi yang Axelle tawarkan?.

"Lalu aku harus apa? Menikahimu? Oh honey, pilihan yang sangat bagus" ucap Axelle kagum. Lagi lagi, Axelle mengabaikan orang di sekitarnya. Ia menarik tengkuk Camel, mendekatkan wajah Camel ke wajahnya, lalu ia melumat habis bibir Camel. Menggerakkannya bergantian. Rasa asin dari air mata Camel dapat Axelle rasakan. Namun rasa itu tidak mengurangi sedikitpun rasa manis bibir Camel, dan rasa bahagia yang meledak ledak di dadanya.

Merasa Camel kehabisan napas, Axelle melepaskan bibir Camel. Axelle tersenyum manis sampai memperlihatkan giginya yang tersusun rapih. Axelle menarik Camel dalam pelukan yang lebih erat. Axelle menenggelamkan wajahnya dalam lekukan leher Camel.

Axelle berbisik lirih, namun masih dapat Camel dengar, "Kau tidak akan bisa lari lagi, honey."

Lalu Camel tau, itu adalah ancaman yang manis.

***

Camel tidak tau jika Axelle memang tipe orang yang benar benar selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Axelle tidak pernah mendapatkan kekalahan. Semua bisa Axelle lakukan semudah membalikkan telapak tangan.

Setelah Camel menerimanya tadi malam, Axelle mencium Camel sepuasnya. Mengabaikan tatapan marah keluarga Camel. Lalu, Axelle juga mengatakan bahwa Camel serta keluarganya tidak perlu melakukan apapun. Urusan pernikahan memang benar benar sudah 100%. 2 ribu undangan sudah tesebar. Camel tidak tau, akan semalu apa Axelle nanti jika Camel memilih menolaknya. Namun Camel juga menyadari, menolak atau menerima, Camel pasti akan tetap menikah dengan Axelle. Pria berkepala batu.

Camel tidak tidur semalaman. Dan sekarang matahari kembali menjalankan tugasnya. Membangunkan orang orang dari mimpi buruk mereka. Namun tidak dengan Camel. Mimpi buruknya berkelanjutan. Dan Camel tidak tau kapan akan bangun dari mimpi buruk ini.

Camel menoleh saat mendengar ketukan di pintu kamarnya. Tanpa menjawab apapun, pintu kamarnya tetap terbuka dan Viona masuk ke kamar Camel.

"Adek, gak ganti baju? Emang betah?" tanya Viona. Camel memang tidak mengganti bajunya. Ia masih mengenakan pakaian yang ia kenakan untuk pergi ke prom tadi malam. Make up tipis yang Camel poleskan pada wajahnya juga tidak ia hapus. Camel terlalu malas untuk melakukan semua itu.

Melihat Camel hanya diam sambil memeluk kakinya, Viona mendekat dan mengusap pundak Camel, "Bunda, ayah, dan kakak minta maaf. Kami tidak bisa melakukan apapun. Maaf, dek. Maaf" Viona menunduk, ia kembali menangis karena frustasi.

Kenapa keluarga mereka begitu lemah? Kenapa mereka tidak melawan orang orang itu? Kenapa..kenapa harus Camel yang menjadi korban?.

Camel mengangkat kepalanya lalu menghela napas kecil, "Udah bun, gak papa. Udah terlambat juga untuk menyesal" kata Camel sedikit menyindir.

Camel bukan orang yang penurut. Ia sedikit kekanakan dengan sifat selalu ingin menang dan di utamakan. Camel keras kepala, namun ia penyayang.

2 Mei 2020

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang