Madu

693 64 15
                                    

Blind - 19 (Madu)

Tidak pernahkah kau merasa sakit di tengah kebahagiaan?.

Langit tidak pernah menuntut balas atas hujan yang telah ia beri.

Kata tidak pernah membenci kata lain karena nyatanya mereka saling melengkapi.

Kodratnya, mencintai itu memberi lalu melengkapi. Bukan memaksa dengan alasan melindungi.

Camel muak. Cukup muak mendengar alasan keluarganya yang di dengar dari sudut manapun terkesan menjualnya.

Namun Camel bukan gula yang lupa diri. Gula hanya menambah cita rasa kopi yang asalnya memang sudah memanjakan.

Camel cukup tau diri. Berjuta juta uang telah mereka hamburkan untuk menghidupi Camel, sampai Camel merasakan sulitnya puluhan soal saat sedang ujian.

Namun rasanya cukup menyakitkan saat tau bahwa mereka mengurus Camel untuk mereka jual.

Mungkin ia berlebihan karena keluarganya mengatakan tidak memiliki niat sedikitpun untuk menjual Camel.

Camel mengangkat kepalanya. Air mata mengalir tanpa bisa Camel cegah. Seperti, tubuhnya memang bukan miliknya lagi. Mengeluarkan apa yang seharusnya tak mereka keluarkan. Merasakan rasa sakit lebih dari yang bisa ia terima. "Jadi intinya, kalian nukar aku dengan uang dan jabatan?".

Keluarganya lagi lagi menggeleng. Bagaimanapun Camel terlalu berharga dari sekedar berpuluh puluh juta. Namun situasinya memang benar benar tidak mendukung mereka.

Camel mengusap air matanya. "Terus apa? Ayah dapat suntikan dana dari Axelle. Terus kakak gak jadi di keluarin dari kantor karena kakak mohon sama Axelle, dengan aku sebagai penggantinya".

Ayahnya menggeleng geleng, "Cukup, nak. Cukup" ia merasa jantungnya melemah. Setiap detakannya seperti ada ribuan jarum yang menusuk. Paru parunya menghimpit. Melarangnya untuk menghirup oksigen yang masih tuhan berikan secara cuma cuma.

Camel tersadar. Ayahnya memiliki lemah jantung. Sekecewa apapun Camel pada mereka, Camel tetap tidak mau terjadi sesuatu yang buruk pada mereka.

Camel menelan salivanya yang terasa menyakitkan saat melewari tenggorokan. "Keluar" ia terisak, "Aku mohon keluar".

Kakaknya menunduk dengan rasa bersalah yang perlahan lahan menghantuinya. Ia tidak dapat melakukan apapun selain merangkul ayahnya untuk keluar dari ruang kamar inap Camel.

"Keluar, bun".

Viona merasakan sakit yang luar biasa. Putrinya. Yang ia kandung selama sembilan bulan mengusirnya dengan nada yang dingin.

Ia tidak menyalahkan siapapun. Ini salahnya. Salah keegoisan dirinya sehingga ia mengorbankan kebebasan putrinya.

***

Rasanya terlalu mendadak. Camel tidak tau sebesar apa dosanya sehingga ia mendapat cobaan berpuluh kali lipat.

Camel lelah. Lelah secara fisik maupun psikis. Masalah ini terlalu berat bagi Camel yang baru berumur 18 tahun.

Seharusnya Camel sedang sibuk belajar. Kesana kemari mengikuti bimbingan belajar. Bulak balik ke toko buku untuk membeli buku panduan. Bukan tertekan karena masalah yang menurutnya tidak masuk akal.

Axelle tiba tiba datang ke hidupnya. Menjadi penyebab segala kekacauan yang Camel alami saat ini.

Axelle selalu berada dalam bayang bayang hidup Camel. Mengikutinya. Menjadi parasit. Dan tanpa sadar mengambil cahaya yang ia miliki.

Camel membaringkan tubuhnya. Lebih baik ia tidur dan sedikit melupakan masalahnya. Namun suara pintu terbuka membatalkan niat Camel.

"Honey?" Camel mengabaikan. Namun ia tau jika Axelle berjalan mendekatinya.

Axelle menghela napasnya. Melakukan pendekatan dengan Camel terasa lebih menyulitkan daripada pindah dari negara satu ke negara lain dalam waktu satu hari.

Axelle mengusap rambut Camel yang berantakan. Sangat lembut sehingga terasa seperti beludru. "Honey" Axelle kembali memanggil. Dari suaranya Axelle jelas jelas menahan rasa frustasi dan kesal.

Camel meringis saat merasakan usapan Axelle berubah menjadi tarikan menyakitkan di rambutnya. "Kau tahu, honey? Aku benci di abaikan".

***

Camel cemberut. Axelle melepaskan bibirnya setelah lima menit. Sekarang Camel tau, Axelle selalu mencurahkan segalanya dalam bentuk ciuman.

Camel tidak menyangka, hidupnya yang dulu sangat teratur. Menjauhi segala larangan dalam agama maupun keluarga. Namun sekarang. Hidup Camel sungguh tidak tertata. Ciuman selalu ia lakukan. Minimal sehari sekali. Skinship dengan Axelle juga merupakan hal yang lumrah.

Namun Camel tidak bisa menolak. Selain karena Axelle terlalu egois untuk mendapat tolakan, Camel juga sedikit menikmatinya. Baiklah ia memang gila. Gila semenjak.. Entahlah.

Axelle mengusap dahi Camel, menghilangkan kerutannya. "Kau lapar?" tanyanya singkat.

Camel menggeleng, "Axe.. Aku mau keluar untuk membeli es krim". Membeli es krim adalah alasan yang tiba tiba melintas di otak cantiknya. Bagaimanapun, ia membutuhkan sedikit udara segar. Berada di dalam kamar yang tidak sebesar itu dan berdua dengan Axelle terasa mendebarkan.

Mata Axelle berbinar, "Oh honey" Axelle menarik tengkuk Camel lalu melumat bibirnya, "Aku bahagia kau meminta sesuatu dariku. Tunggu honey, aku akan membawakan es krim terlezat untukmu" Axelle beranjak dari kasur Camel.

Tak sampai sepuluh detik setelah ia keluar kamar, Axelle kembali memunculkan kepalanya di ambang pintu, "Tunggu honey, apakah di sini ada kedai seperti loblolly creamery?".

Tidak. Tentu saja tidak, Axelle jelek.

"But, Axe.. Aku ingin beli sendiri" Camel berkedip.

Axelle berkedip.

Camel kembali berkedip.

Axelle menggeleng, "Tidak, tidak. Aku tidak mau kau di lirik pria lain, honey".

20 januari 2021

BLINDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang