Suara kereta api datang mulai terdengar. Itu artinya, sekarang waktunya untuk memasuki kelas. Ahh ... tidak bisakah aku bolos satu pelajaran saja?
Lalu dengan malas aku berjalan menuju kelasku. Herannya, ketika aku sampai di kelas, kenapa pintunya tertutup? Apakah di dalamnya tidak ada orang?
Ketika aku mengintip sedikit di celah-celah pintu, aku melihat Elina dan Bryan sedang berbincang entah membicarakan apa. Itu artinya, di kelas ada orang.
Agar terlihat lebih sopan, aku mengetuk pintu dulu sebanyak tiga kali. Kemudian memegang knop pintu dan melangkah masuk. Kuharap mereka tidak melihat kejadian di kantin tad—
"SAMBUTLAH WONDER WOMAN KELAS KITA, FIA!" teriak Folandio memberi sambutan dengan kepalaku yang dibanjuri kertas origami yang disobek-sobek.
Aku langsung mendelik tajam padanya. Aku masih dendam pada anak ini ketika kejadian di kantin tadi, dan jangan harap aku akan melupakan dendamku atas kejadian itu dalam sekejap.
"Ampun, bos! Gue khilaf pas di kolong meja tadi," ucapnya sambil menyatukan kedua telapak tangannya.
"Ah, lo mah nggak bener nyambut cewek! Nih, liat gue," ucap Furqon yang langsung merampas buku yang di atasnya terdapat sobekan kertas origami.
"SAMBUTLAH DO BONG SOON KELAS KITA, FIA!" teriak Furqon meniru intonasi Folandio tadi dan membanjuriku dengan sobekan kertas origami itu.
Aku memutar bola mataku dengan malas. Sumpah, mereka berdua nggak ada habis-habisnya bertingkah konyol.
"Heh bego! Harusnya ditaburin bunga, bukan kertas lipet!" celetuk Jojo.
"Bunganya kagak ada, njir. Jadi pake ini aja, biar keliatan warna-warni gitu," balas Folandio.
"Udah, udah. Nggak usah pake acara tabur kertas segala. Gue bukan wonder woman atau Do Bong Soon atau semacamnya. Gue Fia, dan selamanya akan selalu begitu," ucapku sambil menyingkirkan sobekan kertas origami di rambutku.
"Tuh kan gue bilang juga apa. Fia nggak akan suka digituin. Bandel, sih," timpal Elma.
"Yaudah intinya tadi aksi lo bagus banget sumpah. Orang-orang pada video-in terus masukin ke akun youtube mereka," ucap Bryan.
"HAH? ANJER, BENERAN?!" teriakku terkejut.
Kulihat yang lain langsung mengangguk setuju.
Mampus!
"Eh woi! Aduh ... jangan dipost juga, napa," keluhku.
"Emang kenapa?" tanya Elina.
"Ya kasian kakak kelasnya, bego! Ntar dia yang malahan dibully!"
"Yaelah, itu kan balasan dia juga karena sering ngebully," sahut lelaki yang setahuku bernama Sedoka.
"Orang berbuat jahat ya nggak selalu harus dibalas jahat juga, kali," timpal Deasy.
Bodoamat dengan perdebatan antara pro dan kontra selanjutnya. Intinya, sekarang aku harus menelpon seseorang untuk menghentikan aksi post video tadi.
"Halo, Kakak Lak—"
"Gue tau, dah apa mau lo."
Aku terdiam.
"Heran aja. Kenapa, sih hati lo lembut kayak gini? Mau jadi orang sok baik, lo?"
"Kak, ayo dong," rengekku.
"Iya, iya ntar gue lakuin. Tapi traktir gue makan, oke?"
Sianjir. Harusnya adek yang meras kakaknya, bukan kakak yang meras adeknya. Kalo kayak gini, kan bego jadinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
New World [REVISI]
FantasySequel Ventiones Academy **** Sebenarnya tidak ada yang aneh di hidupku. Hidupku berjalan seperti remaja usia empat belas tahun pada umumnya. Tetapi, seketika semuanya berubah. Iya, berubah. Tidak, bukan berubah dunianya yang berubah. Tapi, aku sel...